Entri yang Diunggulkan

Target Pajak 2019 Jangan Sampai Menyengsarakan Rakyat

RMOL.  Menteri Keuangan Sri Mulyani memasang target penerimaan pajak pada Rancangan APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun. Menurut anggot...

Sabtu, 13 Agustus 2016

Review Indonesia Kirana ( 2016)

The Chorus garapan Christophe Barratier memperlihatkan kalau sebuah paduan suara yang bagus tercipta dari kedisiplinan dan kekompakan anggotanya, walau tim paduan suara anak-anak pimpinan Clement Mathieu tersebut memiliki bocah bersuara malaikat bernama Pierre Morhange, mereka tetap butuh kerjasama tim. Paduan suara tidak ada bedanya dengan kesebelasan sepakbola, satu orang yang jago main bola tidak bisa memenangkan pertandingan seorang diri, Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo tetap butuh teman-temannya untuk bisa mencetak gol ke gawang lawan. Apa yang tidak diperlihatkan film-film bertemakan paduan suara tersebut—termasuk Sister Act yang dibintangi Whoopi Goldberg—adalah proses yang sebenarnya, kisah pahit di balik panggung, dan tidak selamanya kompetisi paduan suara berakhir happy ending. Clement Mathieu dan Suster Mary Clarence tampaknya bakal mengerti apa yang akan dihadapi oleh Kang Arvin Zeinullah di Indonesia Kirana, tidak mudah untuk memimpin, mengajar dan menyatukan tim paduan suara agar tak sekedar bagus bernyanyi, tapi juga disiplin dan kompak.
Orang-orang “gila” dari Embara Films yang menyuguhkan keindahan Epic Java di tahun 2013 silam, kembali dengan sebuah dokumenter yang akan mengajak kita menelusuri jejak Paduan Suara Mahasiswa Universitas Padjadjaran (PSM Unpad) di benua Eropa. Melalui Indonesia Kirana, kita diberikan kesempatan untuk lihat tak hanya penampilan luar biasa dari PSM Unpad, tapi perjuangan mereka untuk bisa sampai ke “olimpiade”-nya paduan suara yang diadakan di Slovenia. Sebuah kisah dari balik panggung yang menceritakan manis dan pahitnya proses latihan untuk bisa menunjukkan yang terbaik di hadapan dunia, mewakili Indonesia. Ya, saya yang hanya punya pengalaman menjadi paduan suara saat upacara bendera di sekolah dulu, seketika hanya bisa tercengang dipertontonkanIndonesia Kirana dan kehebatan PSM Unpad. Melihat tiap anggotanya yang harus melewati “ujian” sangat berat agar nantinya mampu bersaing dengan kelompok paduan suara lain dari seluruh dunia, saya pun jadi ikutan stres. Tidak bisa membayangkan mesti berlatih di tempat terbuka dengan suhu udara yang dinginnya minta ampun, dan dipaksa tetap fokus bernyanyi dengan benar oleh Kang Arvin yang sadis.
Indonesia Kirana bukan sekedar melihat PSM Unpad berjuang untuk lalui segala rintangan demi bisa jadi yang terbaik, ataupun mendengarkan suara-suara indah saja, akan tetapi juga mengajak serta penonton untuk ikut merasakan bermacam letupan emosi dari tiap anggota PSM Unpad. Penempatan momen demi momen, dari mulai berangkat ke Belanda hingga nantinya berdiri di panggung kompetisi diUnion Hall, ditata dengan baik agar tercipta mood yang tepat ketika menonton, sekaligus mampu memancing reaksi emosional penonton. Di beberapa part, saya bisa tersenyum dan tertawa bahagia melihat tingkah lucu anak-anak PSM Unpad, termasuk selipan wawancara “semua akan segera berakhir” yang memorable itu. Tetapi di part lainnya, wajah saya bisa tiba-tiba berubah warna merah, mungkin dengan tambahan kepulan asap keluar dari telinga ala film kartun, alias menahan amarah saat melihat Kang Arvin memaksa anak-anak PSM Unpad untuk berlatih tidak kenal waktu, walaupun mereka kedinginan dan kelelahan. Indonesia Kirana sanggup membuat saya seperti menjadi bagian dari PSM Unpad selama 90 menit, merasakan susah, senang, dingin, letih, stres, gembira dan sedih bersama-sama.

Tidak ada komentar: