Sabtu Bersama Bapak merupakan film yang diadaptasi dari novel super laris karangan Adhitya Mulya yang berjudul sama. Bukan, ini bukan tentang turut ayah ke kota naik delman istimewa, karena itu, hari Minggu. Tapi ini tentang seorang ayah, Gunawan (Abimana Aryasatya), yang divonis hanya akan hidup satu tahun lagi.
Untuk mengisi kekosongan sosok ayah setelah nanti beliau tiada, sang Bapak meninggalkan pesan dalam bentuk ratusan kaset video kepada istri (Ira Wibowo) dan kedua anaknya, Satya dan Cakra. Satu kasetnya hanya boleh disaksikan bersama-sama seminggu sekali, setiap hari Sabtu. Hence, Sabtu bersama Bapak.
Cerita bergulir saat Satya (Arifin Putra) dan Cakra (Deva Mahenra) tumbuh dewasa. Satya telah menikah dengan Risa (Acha Septriasa), punya dua orang anak, dan tinggal di Paris. Sementara Cakra memiliki karier gemilang sebagai banker di Jakarta yang setiap weekend pulang ke Bandung demi menemani ibunya. Keduanya hidup terpisah dengan konfliknya masing-masing. Satya dan Risa yang membangun rumah tangga, sedangkan Cakra yang sibuk mencari pasangan hidup.
Ketika membaca novelnya, lakon Cakra mencari cinta mudah dibayangkan format filmnya. Namun sulit membayangkan kisah rumah tangga Satya dan Risa yang pelan dan terkesan tanpa ujung menjadi sebuah film. Belum lagi, penceritaan dua tokoh dalam satu buku terlihat lebih mudah ketimbang dalam satu film yang punya durasi terbatas. Apakah akan ada satu cerita yang dikalahkan di filmnya atau gimana?
Memang ga adil rasanya jika harus membandingkan film dengan novelnya secara gamblang, namun dua hal itulah yang jadi kekhawatiran gua ketika masuk ke dalam ruang bioskop hari Jumat lalu. Namun saat melangkah keluar, kedua kekhawatiran itu dapat terjawab dengan baik.
Tambahan adegan yang ga ada pada cerita Satya di novel, membuat pengembangan konflik dapat dipangkas tanpa menghilangkan esensinya. Pemicu konfliknya masuk akal dan bisa langsung ngegas cerita menuju babak berikutnya.
Kedua cerita dieksekusi sama baiknya, ga timpang sebelah. Kisah kakak adik ini diberi porsi yang serupa dan mencuri perhatian sama beratnya. Shifting antar cerita juga mulus, ga membuat penonton bingung ini cerita mana atau punya siapa. Karakter yang kuat serta latar yang jauh beda memegang peranan penting dalam halusnya transisi ini.
Bicara soal karakter, gua sangat puas dengan para pemeran dewasa di film ini. Cocok dengan bayangan gua saat membaca novelnya dulu. Bapak yang bijak, Satya yang keras, Risa yang anggun, Cakra yang canggung, serta Ayu yang kalem. Semuanya pas diperankan oleh pemainnya masing-masing.
Abimana jadi favorit gua di film ini. Aura kebapakannya terasa banget lewat getar suara serta tatapan matanya yang keras namun menenangkan. Nasehat seremeh jangan eek sembarangan pun sepertinya akan terdengar bijak kalo dia yang ngomong.
Akting Arifin dan Acha juga jempolan, apalagi ketika adegan berantem. Selain jam terbang keduanya, pemilihan kata-kata yang natural, membuat berantemnya mereka itu believeable. Pas nonton adegan itu, gua dan Sarah pandang-pandangan dan merasa berantemnya mereka itu ya kayak berantemnya kita berdua pas di rumah. Alami dan sehari-hari. Sebuah pujian yang layak disematkan bukan hanya ke pemainnya, tapi juga ke penulis skenarionya: Adhitya Mulya dan Monty Tiwa.
Yang membuat dahi sedikit berkerut dari cerita Satya adalah pemeran Rian dan Miku, anak dari Satya dan Risa. Selain aktingnya yang kaku dan datar, rasanya dengan gen secakep itu, anak mereka harusnya ga kayak gitu deh. Jangan-jangan Risa bandel dan sering keluyuran malem-malem pas Satya dinas keluar kota.
Well, anyway, cukup tentang Bapak dan Satya. Mari kita beralih ke Cakra.
Seperti yang gua bilang di atas, cerita Cakra worry me less. Lakon Cakra mencari cinta berputar di sekitar kehidupan kantornya. And believe me, every single scene in the office is hillarious. Chemistryantara Cakra dengan dua anak buahnya, Firman (Ernest Prakasa) dan Wati (Jennifer Arnelita), membuat cerita Cakra selalu gua tunggu kemunculannya. Office jokes mereka jadi bumbu sampingan yang seperti menu utama buat gua
Adegan paling kocak adalah saat Cakra coba mengajak Ayu makan siang berdua untuk pertama kalinnya. Kekikukan Cakra dan pemilihan kata yang salah membuat adegan itu chaotic banget. Sebuah kebodohan yang ditimpa kebodohan lainnya. Seperti rentetan kembang api di tengah desa yang sunyi. Menggelegar dan menyegarkan.
Meski begitu, gua mencatat ada beberapa kekurangan yang agak mengganggu. Karena ada dua cerita yang berjalan bersamaan (tiga, jika cerita sang ibu juga dihitung), konflik yang ada terasa ga memuncak di saat yang bersamaan. Terkesan datar meski ada letupan-letupan yang meledak, namun sayangnya, di momen yang berbeda.
Dialog yang cheesy antara Bapak dan Ibu juga jadi PR tersendiri. Saat Satya dan Risa bisa beradu argumen dengan alami, diskusi antara Bapak dengan Ibu sedikit mengawang-awang. Contohnya gombalan Bapak saat Ibu sedang mengiris cabe. Gombalan yang membuat gua ingin membalasnya dengan kalimat, “Ah, bisa aje lu, Nyet.”
Kemunculan Bapak lewat kaset video juga terhitung sedikit, jika dibandingkan dengan novelnya. Peran video Bapak lebih berat ke Satya ketimbang Cakra, yang lebih banyak mengingat atau bergumam sendiri. Petuah Bapak, baik itu lewat video atau flashback kenangan, nyaris ga ada di cerita Cakra. Sebuah hal yang disayangkan karena Abimana sendiri memerankan karakter tersebut dengan sangat baik.
Tapi kalo ditanya apakah film ini berhasil mencapai tujuannya, maka jawaban gua adalah iya. Banget, malah. Karena Sabtu Bersama Bapak telah membuat gua kangen berat sama bokap dan ingin memeluk istri lebih erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar