Film pada umumnya memang tidak selalu
harus berpijak pada kenyataan. Namun, pada jenis dokumenter dan biopik,
akan selalu ada sejarah maupun fakta yang membayang-bayangi dalam
pembacaannya. Ketidakakuratan bisa menjadi kontroversi besar, seperti
pernah terjadi film
Soekarno:
Indonesia Merdeka. Lalu, bagaimana cara merekonsiliasi antara seni membuat film dengan kenyataan dari subjek atau peristiwa yang difilmkan?
Halangan
yang paling awal menghadang adalah durasi film. Dalam sebuah biopik,
misalnya, tidak mungkin menghadirkan seluruh aspek kehidupan sang tokoh
secara utuh ke dalam bentuk film fitur. Sang pembuat film harus dengan
cermat memilih bagian mana dari kehidupan yang tokoh untuk sebagai
kendaraan untuk mengeksplorasi kedalaman motivasi dan karakternya.
Sayangnya, di Indonesia, tendensi untuk menjejalkan begitu banyak narasi
ke dalam film biopik masih sering dilakukan. Hal ini pula yang terjadi
pada film
Guru Bangsa: Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto (Reza
Rahardian) adalah anak dari Tjokroamiseno, seorang pamong praja yang
juga keturunan bangsawan. Kakek Tjokroaminoto adalah seorang pamong
praja juga, namun kakek buyutnya adalah seorang kiai (Kyai Bagoes Kasan
Besari). Demikian ia mengenalkan diri pada adegan
awal di
penjara Kalisosok saat Belanda menangkapnya. Adegan beralih kepada
Tjokro kecil (Christopher Nelwan) yang melihat seorang budak disiksa
karena menumpahkan karet.
Oleh seorang kiai, Tjokro menerima petuah mengenai
hijrah (pindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik) dan
iqra (perintah untuk membaca)
. Adegan
berlanjut
adegan di sekolah saat ia dihukum gurunya akibat protes terhadap
penjajahan Belanda. Tjokro lalu dinikahkan dengan Soeharsikin (Putri
Ayudya). Setelah menjadi pegawai perkebunan, ia pindah ke Semarang untuk
mencari rumusan tentang
hijrah seperti apa yang akan
diwujudkan bangsa ini. Ia lalu pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada
surat kabar, sementara istrinya membuat batik sekaligus mengurusi
rumahnya yang dijadikan kos-kosan. Kos-kosan ini, yang disebut Rumah
Paneleh, dihuni oleh pemuda-pemuda yang kelak menjadi orang-orang besar
Bangsa Indonesia, seperti Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta
Ginting), dan Soekarno (Deva Mahenra). Di sinilah Tjokro mendirikan
Sarekat Islam dan menjadikannya sebuah organisasi besar.
Dengan
begitu lebarnya sejarah Tjokro yang hendak diceritakan oleh Garin, mau
tidak mau ia menghadirkan ansambel tokoh yang luas. Selain tokoh-tokoh
Sarekat Islam dan pejabat-pejabat Belanda, dihadirkan pula Stella
(Chelsea Islan), anak Belanda dan pribumi yang mengalami diskriminasi.
Ada juga Abdullah (Alex Abbad), pegawai Belanda yang berasal dari Yaman,
serta tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah seperti Mbok
Tambeng (Christine Hakim), penjual kursi kayu, hingga Bagong.
Nampaknya, durasi 2,5 jam tidaklah cukup buat film ini. Konsekuensi yang nampak adalah penggunaan
shot-shot yang
pendek dengan adegan-adegan yang berlompatan. Dalam beberapa dialog
yang menyangkut tahun dan peristiwa sejarah dilemparkan dengan cepat
sehingga terkesan seperti ada orang yang sedang membacakan buku sejarah
kepada penonton. Garin tidak memberikan waktu bagi adegannya untuk
menjadi kokoh terlebih dahulu, sehingga ekses informasi, cerita, dan
tokoh ini ini membuat penonton masih harus mencerna beberapa adegan
sebelumnya di saat adegan yang baru sudah dimunculkan di layar.
Dalam beberapa adegan lain dialognya seakan-akan dibuat
profound
namun sebenarnya minim penjelasan. Misalnya, nasehat yang diutarakan
Ibu dari Soeharsikin (Maia Estianty) kepada putrinya, “Suamimu itu
sedang mengikuti semesta”, atau dari Hasan Ali Surati (Alm. Alex Komang)
kepada Tjokro bahwa “buruh adalah politik. Buruh adalah zaman.” Tidak
ada pendalaman karakter maupun pendalaman adegan menyebabkan
dialog-dialog seperti ini seakan hanya tampil seperti slogan atau malah
out-of-character. Dengan kata lain, yang nampak dari film
Tjokro hanyalah kelebaran bukan kedalaman, karena terlalu banyak yang dikatakan dan bukannya ditunjukkan.
Menghadirkan Tjokro ke Masa Sekarang
Melalui
narasinya yang lebar, sang pembuat film dapat dengan leluasa menyatakan
sikapnya terhadap beberapa hal. Sosok Tjokro historis lantas menjelma
menjadi sosok Tjokro yang kontemporer dengan komentar-komentar yang
relevan bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Dalam beberapa hal, ada
kesamaan yang dilakukan Garin dalam film
Tjokro dengan filmnya sebelum ini,
Soegija.
Yang pertama adalah sikap mengenai isu rasialisme. Pada film
Soegija, ada kisah Lingling, gadis Tionghoa yang dekat dengan Romo Soegijapranata. Di dalam
Tjokro,
yang hadir adalah konflik antara pedagang Tionghoa dan kaum pribumi
karena hasutan Belanda. Mendamaikan mereka, Tjokro berseru “Kalau Jawa
dan Tionghoa bersatu, maka subur tanah ini!” Hal yang sama hadir dalam
Stella yang mengalami kebingungan identitas antara menjadi pribumi atau
Belanda. Sayangnya, konflik antaretnis mendadak lenyap dan tak
disinggung lagi, seakan semuanya selesai oleh kata-kata bijak Tjokro
Bahkan peran etnis Tioghoa juga hilang di paruh kedua film. Bagi Stella
pun tak ada jawaban, selain bahwa orang-orang seperti Stella ini akan
dilindungi oleh pemerintahan yang baru, yang bukan di bawah Belanda.
Yang
tampil lebih kuat justru pada sikap Tjokro mengenai perbedaan ideologi.
Ketegangan antara Islam, nasionalisme, dan komunisme dalam anak-anak
didiknya disikapi dengan pernyataan yang humanis, bahkan terkesan
liberalis. Bagi Tjokro, pikiran-pikiran baru ini baik, dari manapun
datangnya, yang lebih penting adalah bagaimana jangan sampai
pikiran-pikiran ini tidak diterjemahkan dengan cara kekerasan. Berulang
kali Tjokro menekankan tentang bahaya kekerasan terhadap persatuan dan
persaudaraan dalam rumah (baca: bangsa) yang ia cita-citakan berhijrah
ke keadaan yang lebih baik.
Ini memang bukan gambaran yang akurat
tentang Tjokro historis, yang mencita-citakan pemerintahan baru oleh
pribumi di bawah naungan Islam. Tjokro historis dengan lantang
menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Akan
tetapi, ia tidak setuju dengan sosialisme
a la Bolshevik. Lewat bukunya
Islam dan Sosialisme, ia menyatakan bahwa sosialisme yang benar adalah sosialisme
a la Islam yang diejawantahkan oleh Nabi Muhammad dulu.
Tjokro
historis juga pernah menyetujui berdirinya Tentara Kanjeng Nabi
Muhammad (TNKM) pada Februari 1918 sebagai respons atas tulisan yang
menghina Islam dalam surat kabar
Djawi Hiswara. Ini tentu
disonans dengan sosok Tjokro dalam film. Tjokro dalam film membiarkan
saja komunisme Bolshevik Semaoen, bahkan tanpa ada kontestasi ide, hanya
karena “Semaoen itu orang pintar. Pasti yang diperbuatnya ada
dasarnya.” Ketidakakurasian ini mungkin bisa dipahami sebagai sarana
untuk mengomentari keadaan Bangsa Indonesia sekarang, di mana tuduhan
bernada rasis kepada etnis Tionghoa, tuduhan komunis, dan kekerasan
sering dipakai menjadi alat politik.
Di samping itu, dilontarkan
juga komentar-komentar lain tentang pendidikan, agraria, pajak, serta
pentingnya koperasi bagi kesejahteraan buruh dan petani. Hal-hal
tersebut sebenarnya bisa saja dikembangkan untuk memperkuat relevansi
pesan film ini bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Namun, alih-alih
dikuatkan sebagai kunci untuk menyelami pemikiran Tjokro dan anak-anak
didiknya di kala itu, mereka hanya mampir sekilas sebagai pengisi
dialog. Simak perdebatan antara kubu Agoes Salim dan kubu Semaoen
mengenai mana yang harus didahulukan antara pendidikan dan agraria,
contohnya. Yang nampak malah justru seperti debat kusir dengan
pengulangan kata-kata namun miskin argumentasi dan elaborasi. Sungguh
disayangkan, mengingat anak-anak didik Tjokro sebenarnya adalah
orator-orator ulung dengan kemampuan berargumentasi yang tajam seperti
yang ada dalam tulisan-tulisan mereka di koran.
Pada akhirnya,
hijrah
yang dikehendaki Tjokro tetap kabur hingga akhir film. Kesan yang
tertinggal adalah bagaimana kita harus menaruh harapan kepada keadaan
yang lebih baik – keadaan yang “sama rata, sama rasa” bagi yang kaya
maupun yang miskin. Namun, dalam bentuk apakah ia mesti mewujud di masa
sekarang ini? Bagaimana juga cara mencapai keadaan yang lebih baik?
Apakah lewat nasionalisme yang arkaik di bawah negara? Ataukah lewat
sosok pemimpin yang mesianistik, pada sosok Ratu Adil atau Satrio
Piningit seperti Tjokro–seperti yang sering disematkan pada beberapa
Presiden Indonesia? Rupanya kontemporerisasi sosok Tjokro juga tidak
serta merta menjawab pertanyaan ini.
Secara filmis, film
Tjokro tidak
lebih baik dari biopik yang digarap Garin sebelumnya. Pejabat-pejabat
Belanda tampil sebagai tokoh jahat yang karikatural. Bahkan kepada
Belanda seperti Henk Sneevliet, yang ikut berjuang bagi Indonesia lewat
parlemen Belanda dan tulisan-tulisannya dikarikaturisasi dengan dialog
semacam, “Kita organisasi elit putih. Kita hanya tahu kopi dan kafe.”
Beberapa adegan juga menggunakan kosa gambar yang melodramatis, seperti
menangis di bawah hujan diiringi musik pengiring yang menyayat hati.
Kekuatan pengadeganan dari Garin justru muncul dalam
shot-shot
hitam putih di Penjara Kalisosok. Dengan absennya warna dan senyapnya
musik pengiring, emosi tampil menonjol lewat akting Reza Rahardian.
Sesungguhnya
Garin bisa memaksimalisasi filmnya dengan menghilangkan tokoh-tokoh
yang tidak terlalu sentral, seperti tokoh Bagong atau penyanyi teater.
Alih-alih menceritakan panjang lebar dari kecil hingga tua, film ini
bisa juga mencuplik sebagian kisah hidup Tjokro kemudian menjadikan
konflik-konflik yang terjadi di masa itu sebagai basis untuk mendalami
karakter dan kisahnya. Moda penceritaan dengan mencuplik seperti ini
pernah dilakukan dalam biopik
Tjoet Nja’ Dhien dan film-film biopik karya Oliver Stone seperti
Nixon dan
JFK.
Masa-masa
perpecahan Sarekat Islam sebenarnya menawarkan banyak potensi cerita.
Contohnya, ketika masa itu Tjokro pernah dituduh menggelapkan dana oleh
Darsono. Ada juga kekecewaan banyak anggota SI karena Tjokro menjadi
anggota
Volksraad serta peristiwa Afdeling B, yang dua-duanya
tidak terlalu didalami di film ini. Ada juga kengototan Agoes
Salim-Abdoel Moeis dan debat-debat sengit tentang disiplin partai untuk
menyingkirkan kelompok Komunis Semaoen dari Sarekat Islam.