Entri yang Diunggulkan

Target Pajak 2019 Jangan Sampai Menyengsarakan Rakyat

RMOL.  Menteri Keuangan Sri Mulyani memasang target penerimaan pajak pada Rancangan APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun. Menurut anggot...

Minggu, 20 Desember 2015

Review Bulan terbelah Dilangit Amerika



Setelah mendapatkan sebuah kiriman email video seorang gadis berjudul “Do you know my Dad?” Hanum (Acha Septriasa) yang telah berhijab, dan bekerja di sebuah kantor berita di Wina, diberi tugas untuk menulis artikel provokatif oleh kepala redaksinya, berjudul “Apakah dunia lebih baik tanpa Islam?” Hanum tak kuasa menolak tugas wawancara keluarga korban tragedi 11 September di New York, Azima Hussein (Rianti Cartwright), seorang mualaf yang bekerja di sebuah museum, yang mengetahui banyak tentang Islam dan sejarahnya, dan anaknya, Sarah Hussein (Hailey Franco).
Pada saat yang bersamaan, Rangga (Abimana Aryasatya) suaminya juga ditugasi oleh profesornya untuk mewawancara seorang miliuner dan philantropi Amerika,Phillipus Brown, demi melengkapi persyaratan S3-nya. Brown dikenal sangat misterius, dan tidak mudah berbicara dengan media sejak 2001. Rangga diminta untuk menemui Stefan (Nino Fernandez) dan kekasihnya Jasmine (Hannah Al Rashid) yang berada di New York yang telah mengatur pertemuan eksklusif dengan Brown.
Rangga dan Hanum akhirnya berangkat ke New York. Keduanya mengalami tarik ulur kepentingan, yang mengakibatkan segalanya menjadi runyam. Ditambah lagi, demonstrasi besar-besaran menentang masjid Ground Zero New York berakhir ricuh. Hanum dan Rangga terpisah di jagad New York yang penuh dengan hingar bingar manusia.



Mungkinkah Hanum dan Rangga bertemu kembali? Berhasilkah mereka menyelesaikan tugas? Apa jawaban artikel Hanum dari seluruh perjalanannya di Amerika?
Film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang diadaptasi dari novel berjudul sama akan tayang pada 17 Desember 2015. (santika/dakwatuna)

Review Film Single Raditya dika

Kali ini mau sedikit bahas film Raditya Dika yang baru saja rilis, di bulan Desember 2015 ini. Gue mau cerita sedikit gimana gue bisa sampai nonton film Single ini pada tanggal 18 Desember 2015. Gue magang di Hotel Grand Aston Jogjakarta, dan gue tahu kalau besok gue libur. Dan gue pengen menikmati libur gue ini, you know lah magang di bagian House Keeping hotel bintang 5 gimana beratnya. Kamarnya gede-gede coooiii. Sore hari, pas di parkiran Grand Aston Jogjakarta. Gue menemukan ide untuk nonton film pada malam harinya. Gue bikin PM di BBM, nyari teman buat diajak nonton. Iyalah nyari teman, kan gue LDR sama pacar gue #Sedih **tiba-tiba lagu Hello Adelle ngeplay sendiri**



Adegan pertama di dalam mobil, ada Raditya Dika, Pandji, sama Babe Cabita. Seru banget mereka mau ngedate, tapi numpang, dan si Pandji mau benerin PS’nya yang rusak. Raditya Dika itu orangnya nggak PD, kalau ngomong sama cewek susah, si Pandji sok tau banget, dan si Babe Cabita orangnya penakut sama hal-hal ghaib. Di film SINGLE ini, Raditya Dika berperan sebagai EBI. Yak, aneh banget, kayak nama udang. Bukan, bang Raditya Dika di film ini bukan jadi udang, tapi tetep jadi manusia kok. Terus, sekian lama bercanda di dalam mobil, akhirnya si EBI ini, sampai di restaurant, untuk menemui si Vina teman SMA si EBI dulu. Ada joke yang bikin 1 theater ketawa, yaitu saat soup pesanan datang, terus si EBI nyelupin tangannya sambil bilang “restaurantnya keren ya vin, kobokan aja ada wortelnya” asli parah banget, terus si Vina jawab “itu bukan kobokan bi, itu soup”.
Dan di adegan di dalam restaurant ini sedih banget, karena si Vina yang di taksir Ebi sejak SMA mengundang EBI (Raditya Dika) hanya untuk ngasih surat undangan resepsi pernikahan Vina. Booommmm!!!! Dan restaurant itu adalah milik suami Vina. Dan EBI pun sedih, dia pulang ke kost sambil menyanyi lagu Geisha –  Sementara Sendiri di dalam mobil, asli ini sedihnya dapat banget. Gue jujur bisa ngerasain sedihnya di kasih undangan resepsi sama orang yang kita suka.
Ebi sangat amat menderita dengan keJombloannya (SINGLE). Dia ingin sekali mendapatkan cewek yang dia suka, namun selalu gagal di tengah jalan. Cerita di Film terbaru Raditya Dika ini gue kasih nilai 8 dari 10.
Tapi, untuk pengambilan gambarnya, baru kali ini, gue liat film Indonesia dengan pengambilan gambar yang TERBAIK. Sumpah! Keren banget ini. Gue kasih nilai 9 dari 10 !! Untuk pengambilan gambar di Film Single Raditya Dika ini. Tapi, kekurangannya adalah, menurut gue banyak pengambilan gambar dari Film Single Raditya Dika yang mirip sama Film Fast & Furious. Yang mirip adalah, menurut gue lho ya.
1. Saat adegan mobil Raditya Dika sama mobilnya si joe (chandraliow) bersebelahan. Dan Raditya Dika sama si Chandraliow saling menatap.
2. Saat adegan mobilnya di Ebi (Raditya Dika) terbang karena balapan dengan mobil Joe (Chandraliow).
3. Saat mobil rombongan tiba di Pulau Bali untuk menghadiri pernikahan adiknya si Ebi.
Tapi, meskipun mirip, gue tetep ngasih nilai tinggi buat pengambilan gambar di Film Single Raditya Dika ini.
Kalian WAJIB nonton Film Single Raditya Dika ini karena rekomendasi banget filmnya. Segar, cocok untuk kalian yang ingin melepas penat dengan tertawa.

Senin, 14 Desember 2015

Review siapa diatas presiden ?? (2014)

“Kita membicarakan kenyataaan dalam dunia fantasi”, sepenggal lirik dari lagu ‘Koil’ tersebut seperti menggambarkan apa yang sedang dibicarakan oleh “2014” yang penyutradarannya dikerjakan oleh Rahabi Mandra berduet dengan Hanung Bramantyo. Diciptakan dari hasil karangan Rahabi dan Ben Sihombing (Senggol Bacok), “2014” seperti mengajak kita ke sebuah dunia fantasi berisikan kesatria, putri dan…bukan, bukan bintang jatuh tetapi raksasa jahat rakus kekuasaan yang ingin mengusai negeri yang mirip sekali dengan Indonesia. Sebuah negeri carut-marut yang dipenuhi perampok-perampok intelek dan dihuni oleh para politikus yang bertuhankan jabatan dan berkiblatkan harta. Negeri dimana hakimnya bisa ditukar dengan seikat uang dan keadilan diperjual-belikan layaknya ikan asin di pasar. Negeri yang DPR-nya tak lagi diartikan sebagai “wakil-nya rakyat”, tetapi “Dewan Persetan dengan Rakyat”. Negeri yang memahkotai para penjahat serta memuliakan para pencuri uang rakyat. Negeri yang memelihara para pembunuh dan juga para penjagal berpangkat jenderal. Negeri yang dibicarakan oleh “2014” seperti cerminan kenyataan negeri aslinya, yang sama-sama porak-poranda dan kacau karena ulah para “raksasa” yang berebut tahta.
Demi menyelamatkan sang Ayah dari vonis hukuman mati, Ricky Bagaskoro tak punya pilihan lain selain melawan para “raksasa” yang sudah menjebak Ayahnya hingga masuk jeruji besi karena sangkaan menjadi pembunuh. Tidak mudah bagi Ricky untuk menjadi seorang kesatria, para raksasa tentu tidak akan diam saja, mereka mengirimkan pembunuh untuk menghentikan aksi Ricky mencari bukti-bukti yang bakal membebaskan Ayahnya. Dibantu seorang putri bernama Laras, keduanya mesti berjibaku dengan orang-orang jahat kiriman para raksasa, yang tak segan-segan untuk membunuh. Di negeri yang hukumnya dapat direkayasa, keadilan bisa dibeli, orang baik bisa dituduh jahat dan orang yang bersalah dapat bebas seenaknya, “2014” sedang bicara kenyataan yang terjadi di negeri fantasi buatannya. Realita yang sebetulnya juga terjadi di Indonesia, apa yang terjadi di “2014” nantinya begitu relevan dengan apa yang pernah dan sedang dialami oleh negeri ini. Dibungkus dengan tema political-thriller dengan tujuannya menghibur bukan untuk menghakimi siapapun, “2014” tak disangka mampu hadirkan intrik yang menegangkan, sambil nantinya juga memberikan kita sebuah jalinan cerita dengan presentasi yang membuat kita pada akhirnya peduli.
Tak terbantahkan “2014” memang mengadaptasi situasi dan kondisi Indonesia—terutama sistem politiknya—hanya saja demi tujuannya untuk menghibur serta bermain aman, film ini memilih jalan fiksi untuk membeberkan ceritanya. Pilihan tersebut kemudian membuat “2014” lebih leluasa menambahkan banyak hal ke dalam filmnya, bermain-main dengan cerita sekaligus karakter-karakternya. Tak dibatasi apapun bukan berarti film ini bebas bergerak asal kesana dan kemari, di awal plot utamanya sudah jelas dan tinggal bagaimana Rahabi dan Hanung setia dalam mengesekusi plot tersebut, agar tidak terkesan belak-belok kemana-mana. Terlepas ada bagian-bagian yang diburu-buru dan dipaksakan, termasuk ketika kita nanti sampai di ending, saya akui Rahabi dan Hanung mengerjakan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan cerita, sambil membumbuinya dengan intrik, drama dan juga gelaran aksi yang diluar ekspektasi ternyata seru. Sempat tunda tayang tahun lalu karena bermacam alasan, termasuk alasan takut berbenturan dengan situasi politik yang sedang panas-panasnya oleh pemilihan Presiden, film “2014” setidaknya berani maju mengusung tema political-thriller yang tak populer dan langka di sinema negeri ini.

review Film Hijab


Beberapa tahun belakangan, Hanung Bramantyo memang kerap identik dengan film-film berstatus kontroversial, “Perempuan Berkalung Sorban” dituding film menyesatkan, “Sang Pencerah” katanya menyimpang dari sejarah, “Tanda Tanya” bahkan dilabeli film haram, lalu “Soekarno: Indonesia Merdeka” berujung kisruh dengan Rachmawati Soekarno Putri, dan terakhir “Gending Sriwijaya” pun lagi-lagi berbuah protes karena tak mirip sejarah aslinya. Terlepas dari kontroversi dan segala macam pertentangan terhadap film-film Hanung, judul-judul tersebut sebetulnya tak seburuk pemberitaannya.Tapi jika boleh jujur, saya lebih kangen dengan film-film ringannya Hanung, bukan berarti “Sang Pencerah” tidak bagus atau “Perempuan Berkalung Sorban” jelek, bagus kok dan digarap sangat serius, saya akui itu. Mengubek-ngubek lagi jejak rekam Hanung, saya menemukan satu film yang rasa-rasanya tak perlu embel-embel kontroversial untuk bisa dikenang terus, film itu adalah “Catatan Akhir Sekolah”, film ringan yang saya maksud tadi. Yah, Hanung memang membuat beberapa film ringan lain, macam “Get Married” atau “Perahu Kertas” yang dibelah dua part itu, tapi yang bicara soal sahabatan, “Catatan Akhir Sekolah” bisa dibilang tak tergantikan—satu lagi “Jomblo”.
Jika “Catatan Akhir Sekolah” ngomongin persahabatan level anak sekolahan dan “Jomblo” menyorot persahabatan tingkat anak kuliahan. “Hijab” membawa tema friendship ke level yang benar-benar baru, Hanung kali ini bicara soal sahabatan di ruang lingkup mereka yang sudah berumah-tangga, lebih tepatnya dari point of view-nya para istri. Di “Hijab” kita akan diajak berkenalan dengan Bia (Carissa Puteri), Tata (Tika Bravani), Sari (Zaskia Adya Mecca) dan Anin (Natasha Rizky), empat cewek yang sahabatan sudah lama, semua sudah menikah kecuali si Anin yang masih mau hidup bebas dan mandiri, tidak seperti ketiga sahabatnya yang setelah bersuami malah justru “terjebak” dalam pernikahan, tidak bisa apa-apa, tidak bisa jadi diri mereka sendiri dan hanya bisa ngangguk apa kata suaminya. Suatu hari keempatnya memutuskan untuk membuka toko hijab online, karena ingin lepas dari label “ikut suami” sekaligus punya penghasilan sendiri. Berbekal skill masing-masing, termasuk Bia yang jago mendesain pakaian, usaha berjualan hijab yang dilakukan secara bergerilya memanfaatkaninternet dan media sosial tersebut, ternyata mendapat respon sangat positif. Bisnisnya sukses dan koleksi hijab mereka kebanjiran pembeli, tapi kesuksesan tersebut tak sepadan dengan apa yang mereka korbankan, yang nantinya balik meminta pertanggung-jawaban dan “kerusakan” harus dibayar mahal oleh Sari dan kawan-kawan.

Soal jago ngulik film yang menyangkut persahabatan, Hanung adalah orangnya, “Hijab” jadi bukti yang menekankan kembali pernyataan saya tersebut. Film ini menghadirkan rasa yang begitu saya kenali, rasa yang dulu saya rasakan ketika duduk di kelas mengamati persahabatan Agni, Arian dan Alde. Kehangatan dari sebuah persahabatan, rasa yang juga hadir saat saya duduk di kantin kampus, makan mie ayam ditemani teh botol dingin, sambil mengamati Agus, Doni, Bimo dan Olip dari jauh. Di “Hijab” saya merasakan kehangatan itu lagi, bukan hangat yang bentar hilang lalu kemudian muncul sembarangan, persahabatan Tata, Sari, Bia dan Anin sejak awal memang hangat hingga durasinya nanti habis. Dan entah bagaimana caranya, Hanung sanggup meracik chemistry dengan begitu halus dan dengan takaran yang pas. Hasilnya kita seperti melihat empat orang sahabatan bukan karena paksaan akting dan skenario, tapi Carissa Puteri dan kawan-kawan tampak layaknya empat orang sahabat yang betulan sahabatan. Untuk film yang ingin menonjolkan sebuah cerita persahabatan, “Hijab” mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan nilai sempurna, film ini membuat kita peduli dulu dengan Bia dan sahabatnya, kita peduli dengan tulus pada persahabatan mereka.
Seperti sebuah pergelaran busana yang di-organize dengan sangat baik, “Hijab” pun melenggang mulus sepanjang durasinya. Sukses memamerkan cerita yang terjahit rapih, dengan tambahan pernak-pernik konflik yang tak terkesan cheap. “Hijab” memang tampil bercanda, tapi dalam setiap candaannya terselip pesan-pesan bernada nyinyir. Walau bagaimanapun ada label bertuliskan “ini filmnya Hanung”, lumrah jika pada akhirnya “Hijab” pun berkeinginan untuk “menyentil” dan “menyindir”, tapi kali ini Hanung sadar betul batasannya, dia masih mampu mengerem nyinyirannya untuk tak terlalu eksplisit dalam penyampaiannya. Jadi kita masih bisa melihat “Hijab” layaknya sebuah acara ketemuan sahabat dengan obrolan santainya, sesekali nyinyir-nyinyir ringan sambil bersenda-gurau. Film ini akhirnya bisa ditertawakan tanpa harus memaksa kita mengernyitkan kening. Dibalut komedi satir yang menyegarkan, “Hijab” tahu menyetel timing yang pas untuk melempar kelucuannya pada saat yang tepat, dan kebanyakan bersumber dari tektokan dialog bermuatan humor yang cukup cerdas. “Hijab” tak saja bikin saya ngakak senang, well, ketika tiba waktu untuk serius, mood film pun berubah 180 derajat, dari tertawa kita bisa tiba-tiba diam, dari adegan ngebanyol penuh guyonan jadi adegan sendu menyentuh kalbu. Dibuka dengan amat menjanjikan, “Hijab” kemudian tidak saja meninggalkan rasa menyenangkan, tapi juga catatan tambahan bertuliskan “terima kasih” pada Hanung, yang sudah sudi balik bikin film ringan tentang persahabatan.

Review film Azrax


Lupakan Mad Dog di “The Raid”, kita memiliki jagoan baru yang level badass-nya 99 kali lipat—Chuck Norris tinggal sentil tidak apa-apanya—namanya AA Azrax, dan kita bisa lihat aksinya di film “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” yang merupakan debut AA Azrax menghajar ketidakadilan. Judulnya semestinya bisa lebih panjang lagi jika AA Azrax mau, “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita Dari Jakarta Sampai Hong Kong” misalnya. Film AA Azrax terbilang yang tiba-tiba muncul, saya tak pernah menyangka jika AA main di sebuah film action, kaget sudah pasti, lebih mengagetkan ketimbang berita Ben Affleck jadi Batman, yang tampaknya adalah sebuah pengalihan isu agar orang-orang melupakan film terpenting di 2013 tersebut. Setelah poster artistiknya rilis, yang mempertegas jika film ini lebih “laki” ketimbang dua film “Expendables”-nya Sylvester Stallone, belum lagi gambar besar menampilkan AA Azrax bermodel rambut gondrong ala rocker pasundan, itu sudah lebih dari cukup jadi alasan saya untuk tak lewatkan film ini di bioskop, jika tidak mau menyesal dunia dan akhirat. Apalagi hype-nya di sosial media begitu tidak wajar, entah siapa dalangnya, tapi film AA Azrax jadi sangat fenomenal di twitter, banyak orang yang menanti-nantikan aksi AA Azrax di layar lebar, termasuk saya yang sudah bosan dicekoki film Indonesia yang itu-itu aja, kalau tidak cinta-cinta-an basi yah horor idiot. Saya butuh film berbeda, untunglah AA Azrax menjawab kegelisahan saya, dengan menghadirkan film laga yang tak hanya mengobral action tapi juga diboncengi banyak pesan moral.
Dari trailer, saya bisa melihat “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” tak masuk kriteria film-film kacrut, melainkan film yang serius dibuat untuk menjadi hiburan, sekaligus mengajarkan kebaikan kepada penontonnya, termasuk salah-satunya adalah ucapkan salam kepada siapapun yang kita temui, mau penjahat sekalipun. AA Azrax mau berantem bilang “Assalamualaikum”, sosok jagoan yang jarang diperlihatkan di film laga kita, tidak saja jago bag-big-bug tapi juga soleh, tidak pernah lupa sembahyang dan selalu ingat Tuhan. Selain itu, AA Azrax juga seorang penakluk wanita, dari perawan-perawan kampung sampai pramugari pesawat yang dia tumpangi sewaktu menuju ke Hong Kong. Puja-puji mengalir deras begitu saya melihat karakter AA Azrax yang tak pernah gentar oleh apapun dan selalu terlihat santai dalam menghadapi setiap masalah. Ketika semua orang gelisah, marah-marah, bingung melawan sindikat perdagangan wanita, AA Azrax terlihat begitu santai, tak pernah berhenti mengingatkan orang-orang di sekitar untuk terus berdoa kepada Tuhan. Subhanallah, AA Azrax ini, karakter yang bisa dibilang sempurna, seorang guru ngaji dan dermawan di kampung, yang digilai oleh para wanita lalu kemudian terbang ke Hong Kong, mengobrak-abrik sarang penyamun penjual wanita-wanita Indonesia untuk dijadikan pelacur disana. AA Azrax tak pernah kenal pamrih, tak pernah meminta bayaran sepeser pun, akan menolong siapapun yang perlu pertolongannya. Kalau ada yang mau berterima kasih, AA Azrax tak akan mau menerima uang, cukup dimasakin ikan bakar dan opor jantung pisang, dia sudah senang, apalagi jika dikupasin pisang. Mau gagah, kuat dan tak pernah kalah seperti AA Azrax, banyak-banyaklah makan pisang.
Edan pisanlah pokonamah “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita”, saya bisa bilang terlalu banyak ke-epix-an hanya dalam satu film saja, berbagi ruang dengan pesan moralnya yang dijejali tanpa berusaha ingin memaksa penonton untuk jadi baik setelah keluar bioskop. Tak perlulah banyak-banyak pesan moral, melihat tampang AA Azrax yang karismatik itu saja sudah bikin hati saya luluh, ingat dosa, ingat Tuhan dan segera mau tobat. Jika film semacam “Evil Dead” tak sah jika tanpa respon sumpah-serapah-anjing-taik-banget-ngehe dimana-mana, “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” sebaliknya, di setiap adegan tak ada hentinya saya ngucap “Astaghfirulloh”. Banyak “nyebut” supaya tetap ingat Tuhan, ngeri juga kalau pulang tiba-tiba mau pindah agama, saking terpesonanya dengan AA Azrax dan mau buat berhala tinggi 4-5 meteran untuk disembah di rumah. “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” adalah film yang tak saja jadi sebuah hiburan tapi juga panduan hidup, terlepas dari banyaknya kebaikan yang bisa kita ambil dan resapi dari film berdurasi 108 menit ini (buat saya mah kurang, filmnya harusnya dibuat sampai 4 jam), level epix-nya benar-benar telah sukses menggeser film-film action yang pernah saya tonton selama ini. Lupakan sekuel “Serbuan Maut”, kita butuh serbuan sekuel-sekuel Azrax, tinggal pilih mau melawan siapa lagi, dari sindikat maling beha sampai gembong narkoba, setiap bulan harusnya AA Azrax merilis filmnya. 

Minggu, 06 Desember 2015

review Film SITI



Siti sebetulnya sudah beredar sedari tahun 2014 silam, tapi karya terbaru Eddie Cahyono ini memang tak rilis secara luas, berbeda dengan Cewek Saweran yang sempat nangkring di bioskop, walaupun umurnya tidak panjang alias cepat turun layar. Setelah Siti berkeliling festival dalam dan luar negeri, termasuk Singapore International Film Festival dan Jogja-Netpac Asian Film Festival, penayangannya pun terbatas hanya di bioskop-bioskop alternatif dan ruang-ruang screening saja. Beberapa kali melewatkan pemutaran Siti, saya akhirnya “berjodoh” saat filmnya diputar oleh Festival Film Indonesia, berbarengan dengan keempat film lain yang terpilih di daftar nominasi film terbaik, termasuk Mencari Hilal dan Toba Dreams. Bisa menonton Siti yang selama ini ditunggu-tunggu saja sebetulnya jadi sumber kegembiraan untuk saya, ketika dapat menyaksikan dalam format layar lebar, ini adalah sebuah pengalaman langka. Apalagi Siti nantinya ditampilkan hitam putih dengan aspect ratio 1:33:1, seperti yang disuguhkan oleh Michel Hazanavicius di The Artist, dan film Polandia berjudul singkat Ida garapan PaweÅ‚ Pawlikowski.

Terpicu oleh keadaan perekonomian yang sulit-melilit, ditambah suaminya yang tidak lagi bekerja karena lumpuh dan tanggungan hutang beli kapal, Siti terpaksa harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Siangnya panas-panasan jualan peyek jingking di Parangtritis dan malam hari menjadi pemandu karaoke, menemani tamu-tamu bernyanyi. Di balik tawa dan senyum, di tengah kesibukan mengurusi rumah, anak dan suaminya, Siti ternyata menyimpan pedih dan menyembunyikan rasa frustasinya. Semua memuncak ketika tempatnya cari uang malah digerebek oleh polisi, tidak mungkin hanya mengandalkan hasil dari jualan peyek yang sepi pembeli, sedangkan uang untuk membayar hutang belum terkumpul. Eddie Cahyono memang tak akan langsung memperlihatkan tekanan batin yang dirasakan oleh Siti, filmnya seakan ingin rasa kesal, bimbang dan sakit hati tersebut untuk bersembunyi sejenak. Alih-alih memberikan penonton visual yang terasa depresif, Siti justru mengajak guyon, terutama bersumber dari dialog Bintang Timur Widodo yang memerankan Bagas—anak Siti—termasuk saat dia bercerita tentang sosok hantu menyeramkan yang mengganggunya di sekolah.

Tiap adegan di Siti digulirkan begitu sederhana, dari gambar sampai ke obrolan-obrolan yang nantinya mengisi, memenuhi 90-an menit durasinya, menampilkan karakter-karakter yang membumi dan juga manusiawi. Seperti setting-nya yang apa adanya, dialog dan tuturnya pun disampaikan Eddie Cahyono tanpa terkesan “ditambal”, tidak ada drama yang dibuat-buat atau emosi yang dilebih-lebihkan. Makanya saya seperti tidak diseret-seret paksa untuk peduli pada nasib malang yang menimpa Siti, sebaliknya dibuat perlahan-lahan menghampiri. Opening-nya langsung mempertontonkan kesederhanaan itu, dibalik guyonan, interaksi Bagas dan Ibunya terasa begitu hangat, bak sinar matahari pagi. Bagas berlarian sambil telanjang, dia tak mau mandi, tak mau sekolah karena takut hantu, Siti kemudian mengejarnya. Adegan tersebut tidak hanya hadir sebagai pemancing tawa tetapi juga menciptakan suasana hangat yang amat menyenangkan. Interaksi-interaksi macam inilah yang kemudian jadi semacam jembatan yang mempermudah saya untuk lebih terasa akrab dengan Siti dan orang-orang di sekelilingnya, disamping kejujuran Eddie Cahyono saat memotret kehidupan yang jadi daya pikat Siti.

Review Anak Kos Dodol

Cerita dalam film Anak Kos Dodol ini merupakan hasil adaptasi novel laris karya Dewi “Dedew” Rieka yang berjudul sama. Film yang disutradarai oleh Eman Pradipta dan diproduksi oleh rumah produksi RK23 Pictures ini mengisahkan tentang geng cewek yang dipertemukan oleh takdir dalam sebuah rumah kos khusus putri di salah satu daerah di Yogyakarta. Ceritanya sendiri diawali dengan kedatangan tiga orang cewek dari luar kota yang baru saja lulus SMA.

Ketiga cewek yang akan nge-kos di lokasi tersebut bernama Sarah, Sofia, dan Dewi alias Dedew. Mereka bertiga menjadi pelengkap bagi geng para penghuni kos-kosan dodol yang telah lebih dulu tinggal di sana, seperti Julia, Sasha, Anti, Tere, Elsha, Ugi, dan juga para senior mereka, yakni Mbak Nunu yang galak dan Mbak Laslie yang bijak. Kehadiran penghuni baru itu ternyata tidak bisa dengan mudah untuk menyatukan mereka dengan para penghuni lama.

Meski sempat terpecah menjadi dua kubu, namun pada akhirnya mereka bisa juga bersatu dan merasakan persaudaraan. Rasa persahabatan dan kebersamaan yang muncul di tengah-tengah mereka berhasil mengalahkan semua perbedaan. Mereka pun menjalani kehidupan dengan saling menjaga dan saling menguatkan ketika masalah datang satu per satu. Kekompakan geng kos dodol yang telah legendaris ini mampu menghadapi semua malasah yang selalu muncul.

Hari-hari kuliah di perantauan yang sangat melelahkan malah jadi terasa meriah dan penuh warna. Para cewek cantik dan pemberani itu pun menemukan tiga babak paling berkesan dalam kehidupan mereka. Yakni, saat mereka merasakan kebebasan dalam hidupnya, lalu menemukan cinta dalam perjalanannya, dan kemudian menyadari arti kebebasan yang sebenarnya sebagai sebuah titipan amanah dan tanggung jawab. Mereka harus menjalani setiap tahap itu bersama.

Sesuai dengan judulnya, film ini menampilkan beragam kejadian di kos-kosan, mulai dari yang seru, lucu hingga konflik karena kehidupan yang terlalu bebas di lingkungan baru. Itulah yang dirasakan oleh Sarah, Sofia, dan Dedew. Lalu, dimana peran Pongki Barata dan Naga “Lyla”? Pongki ternyata berperan sebagai bapak penjaga kos-kosan dimana ketiga cewek tersebut tinggal. Berbagai kejadian lucu mengiringi hidupnya sebagai penjaga kos-kosan khusus putri.

Sabtu, 05 Desember 2015

Ngenes (trailer review)



Film NGENEST menceritakan Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) tidak pernah memilih bagaimana ia dilahirkan. Tapi nasib menentukan, ia terlahir di sebuah keluarga Cina. Tumbuh besar di masa Orde Baru dimana diskriminasi terhadap etnis Cina masih begitu kental. Bullying menjadi makanan sehari-hari. Ia pun berupaya untuk berbaur dengan teman-teman pribuminya, meski ditentang oleh sahabat karibnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Sayangnya berbagai upaya yang ia lakukan tidak juga berhasil, hingga Ernest sampai pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk bisa membaur dengan sempurna adalah dengan menikahi seorangperempuan pribumi.

Simak saja salah satu dialog lucu di film ini:
“Cung, loe mau ke mana?”
“Aku mau ke kelas 1 B”
“Loe khan di kelas 1 C, Cina!”
Karena dikira kaya, Ernest selalu dipalak oleh teman- teman sekolah dan diminta mentraktir jajan mereka. Ia kapok selalu dibully sehingga bertekad mendapatkan isteri pribumi agar anaknya tidak bernasib sama.
Ketika kuliah di Bandung, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela). Meski melalui tentangan dari Papa Meira (Budi Dalton), tapi akhirnya mereka berpacaran. Dan kemudian menikah, dengan adat Cina demi membahagiakan Papa dan Mama Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya)
Berhasil menikah dengan perempuan pribumi ternyata tidak menyelesaikan pergumulan Ernest. Ia mulai dirundung ketakutan, bagaimana jika kelak anaknya terlahir dengan penampilan fisik persis dirinya? Lalu harus mengalami derita bullying persis dirinya? Ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda untuk memiliki anak. 

Review AYu Anak Titipan surga





Ayu, seorang anak perempuan yang usia 9 tahun. Ia ditinggalkan Ayahnya meninggal dunia karena sakit komplikasi. Meski begitu, ia menunjukan sifat yang jarang dimiliki anak-anak seusianya. Sifatnya menjadi contoh bagi anak-anak yang lain. Kecerdasan dan kejujurannya, bisa menjadi pelipur lara dan kepercayaan bagi keluarga yang sedang dalam tekanan hidup yang ekonominya pas-pasan. Rasa setia kawan yang ia miliki bisa menjadi sahabat bagi semua, termasuk Pak Karta, tukang kebun miskin yang bekerja di sekolahnya. Ia juga memiliki keberanian yang jarang dimiliki anak-anak seusianya. 

Di sisi lain, ada Evi, anak orang kaya yang memiliki sifat bertolak belakang akibat kurang diperhatikan oleh orang tuanya yang sibuk. Ayah Evi sibuk memelihara kuda-kudanya yang mahal. Sedangkan ibunya, sibuk dengan kekayaan dan urusan pribadi. Latar belakang itulah yang makin menjerumuskan bocah malang itu mudah cemburu, iri hati dan sifat-sifat lainnya yang tidak terpuji. Hal itulah yang sering ditunjukan kepada Ayu di sekolahnya. 

Bagi Ayu, sifat dan sikap yang di tunjukan Evi adalah hal yang berat. Karena harus mengorbankan perasaan agar tidak terjadi keributan diantara mereka. Dituduh bersekongkol ingin memusuhi Evi dan teman-temannya, Ayu masih bisa mengatasi dan tidak terjadi keributan. Diganggu saat disekolah, Ayu juga masih bisa menahan diri. Suatu ketika “di kerjain” agar terlambat masuk sekolah, Ayu juga masih bisa bertahan dan tidak terjadi permasalahan. Bahkan difitnah dengan berbagai cara, Ayu juga masih tetap dengan sifatnya yang tidak inin membalas kejelekan sifat Evi. Tidak disangka tapi terjadi. Seorang Ayu anak SD yang belum tahu banyak hal tentang dunia kejahatan diluar sana, kini terpampang terlihat di depan mata. Ayu dan kedua sahabatnya mendapati Evi teman sekelasnya yang notabene sering membuat masalah dan memfitnahnya, kini di culik dan disekap oleh kawanan mafia perdagangan orang (trafficking). 

Entah apa itu. Ayu dan kedua sahabatnya hanya tahu bahwa ada penculikan dan penyekapan oleh kawanan penjahat. Mustahil bagi Ayu untuk bisa memahami bagaimana cara menyelamatkan Evi dan beberapa anak-anak lainnya yang rata-rata masih dibawah umur. Sebagai anak-anak biasa seusianya, Ayu dan kedua sahabatnya merasa takut yang luar biasa. Tapi naluri keberanian tetap tidak bisa terbendung untuk bisa membantu menyelamatkan sesamanya yang sedang membutuhkan pertolongan.
Evi baru menyadari bahwa kebaikan sifat Ayu ini bukan sekedar pura-pura. Dengan melalui perjuangan dan proses yang cukup panjang dan melelahkan yang di penuhi oleh resiko dengan taruhan nyawa, Ayu akhirnya terbukti mampu menyelamatkan Evi tanpa pamrih, tanpa melihat bahwa Evi adalah seorang anak yang sering menyakitinya. Ayu melepaskan Evi dari manusia-manusia jahat yang nyaris bakal mencelakakannya dan banyak korban lainnya. “Menanam kebaikan akan berbuah kebaikan, memupuk keburukan hasilnya akan berlipat keburukan”.
Keberanian Ayu mendapatkan simpati dari berbagai pihak termasuk pejabat di daerah tempat tinggalnya. Kak Seto pun sangat bangga dan menjenguk Ayu di rumah sakit, karena cedera berat saat menyelamatkan Evi dan korban lainnya.

Senin, 30 November 2015

Review Film TAROT







Digadang-gadang sebagai film horor terseram di tahun 2015, Film Tarot hadir mewarnai layar lebar Indonesia, produksi dari Hitmaker Studios dan karya Jose Poernomo. Bukan kali ini aja, Jose membuat film horor bareng Hitmaker, beberapa film sebelumnya seperti Rumah Kentang, 308, hingga Rumah Gurita, telah mendulang kesuksesan. Begitu juga dengan Shandy Aulia dan Boy William yang pernah bermain di Rumah Gurita, kembali bermain disini. Apakah film ini sesuai harapan?


Trailer film ini begitu memukau. Setiap detail yang ada, scene yang seru, beberapa ketegangan dimunculkan dalam durasi yang cukup panjang, hampir tiga menit, tapi sama sekali gak bosan. Calon penonton benar-benar bisa menikmati rasa penasarannya yang datang mulai dari detik-detik awal hingga akhir trailer.

Kisah tentang seorang kembar yang akhirnya salah satu diantaranya meninggal dan menghantui saudaranya, mengingatkan kita dengan film Alone asal Thailand yang direlease tahun 2007. Tapi jangan pikir kalau Tarot memiliki cerita yang sama, no! Film Tarot memiliki kemasan cerita dan gaya penceritaan yang lengkap. Mulai dari pengenalan awal, masalah mulai muncul, emosi penonton diajak naik-turun, hingga film ini diakhiri dengan penyelesaian yang matang, bukan selesai sekedarnya.

Penonton gak cuma sekedar menonton film horor aja, tapi juga diajak untuk ikut menjadi bagian dari film. Ini terasa begitu kuat ketika konflik batin yang dialami tokoh di Film Tarot, dihadirkan dengan gaya drama yang jarang ditemui di genre horor. Drama romantis yang dihadirkan gak cuma sebagai pelengkap, tapi memang menjadi bagian untuk film yang tak dapat dipisahkan. Cerita Film Tarot memang dipikirkan secara mantab, apalagi dengan waktu penceritaan yang luas.

Gak perlu diraguin lagi, Jose Poernomo selaku Sutradara dan Penata Kamera memang hits banget hasilnya. Coloring sedikit sephia, angle, shot, teknik pegambilan, semuanya pecah abisssss. Mata penonton memang bener-bener dimanjain. Termasuk efek buat Shandy Aulia dan kembarannya, hantunya, dalam satu frame, halus banget dan sukses mengelabuhi penonton.

Editannya keren, apalagi di setiap scene penting, kayak efek pecahan kaca nembus kulit, bisa dapet feelnya. Efek slow motion juga begitu memukau. Sampai kejernihan gambar yang prima, memanjakan mata. Make up buat karakternya keren. Animasi yang dipakai seperti api terlihat hampir nyata, cuma yang kecelakaan mobil masih kurang sih.



Anto Hoed berhasil banget buat musik yang syahdu pas adegan romance dan musik tegang yang pas waktunya. Ditambah voley, sound effect, dan dubbing yang natural, membantu banget mainin mood emosi penonton. Detail yang indah buat audionya. Selain itu, Tarot juga punya "Stranger in My Bed" sebagai Original Soundtrack yang dinyanyikan Boy William. Kerennya gak cuma jadi soundtrack yang sekedar dijadiin musik ilustrasi aja, tapi lagu ini juga dijadiin "narasi monolog" didalam film, dan itu masih jarang ditemukan di film Indonesia.

Boy William (Tristan) semakin profesional berakting. Terlihat dia sangat menikmati dan nyaman melakukan setiap adegannya. Chemistry dengan Shandy Aulia juga sudah terbangun dengan kokoh. Hasilnya akting Boy, natural, mantab, dan tegas. Boy pintar untuk menyesuaikan ekpresi, mimik dan segala macemnya di setiap adegan.







 Shandy Aulia (Julie & Sofia) juga semakin matang dalam berperan di kancah film horor. Apalagi disini, tantangan untuk memerankan dua peran manusia dan jadi hantu, so nice! Dia bisa berakting dengan sangat baik. Terlihat jelas, ketika dia jadi Julie, maupun saat jadi Sofia, bahkan jadi hantu sekalipun, Shandy total.

arah Wijayanto (Peramal Tarot) sebagai seorang peramal tarot juga di dunia nyata, dia bisa berakting dengan cantik. Padahal kata Sarah sendiri, Film Tarot merupakan film perdananya. Dialog yang dia mainkan juga cukup panjang dan rumit, dia juga bisa melaluinya dengan lancar dan maksimal. Pemain pembantu lainnya juga bermain bagus, gak ada yang menodai film ini dengan akting yang kurang.

Review film skakmat






Komedi action adalah tema yang diangkat oleh film ini. Mengeksplore keahlian bela diri dari Donny alamsyah yang berperan sebagai Dito dan membedah sejauh mana Tanta ginting yang berperan sebagai Jamal yang konon bisa memerankan tokoh multi karakter yang pada film ini dia berperan cukup apik memerankan tokoh pemuda betawi yang sangat mencerminkan benar-benar seorang pemuda betawi pada aslinya.


Pencarian tujuan hidup dan mempertahankan sesuatu yang kita yakini benar adalah benang merah yang sangat terlihat jelas difilm ini. Donny alamsyah yang memerankan tokoh sebagai mantan kurir narkoba yang terketuk hatinya ketika sang bos akan membuat narkoba pada makanan anak-anak dan seketika itu juga menjadi sadar dan ingin keluar dari dunia barkoba karena berfikir bagaimana jika yang menjadi korban tersebut adalah anak semata wayangnya yang tinggal bersama ibunya tercinta.

Konflik antara donny alamsyah dan gembong narkoba yang terus saja mengejarnya karena Donny bertanggung jawab atas 10 kg narkoba yang dia sembunyikan, membuat donny bertemu dengan tanta ginting yang berperan sebagai tukang ojek yang diberi order untuk mengantar donny ke tempat bos yang lain yang juga menginginkan nyawanya.

Walau proses bertemunya donny dan tanta yang melalui order ojek terkesan terlalu dipaksakan dan kurang bisa diterima penonton (terutama saya), tapi aksi donny alamsyah dalam bertarung dan akting santainya tanta yang mencerminkan pemuda betawi asli, cukup bisa mengaburkan itu semua.

Aksi laga donny alamsyah yang kita tau juga salah satu pemeran tokoh penting dalam film aksi yang membuat gempar perfilman indonesia yaitu The Raid. Membuat aksi Donny memang tidak perlu diragukan lagi, Namun aksi Donny yang bagus menjadi sedikit berkurang dikarenakan lawan-lawan dari aksi Donny terasa tidak bisa menyesuaikan gerakan dengan baik. Sehingga kita akan seringsekali melihat adegan fighting yang delay dalam menangkis, menendang dan menghindar cukup banyak terjadi. Dan ini menurut saya sangat disayangkan.


Kurang ketatnya Pemilihan figuran dalam fighting menurut saya cukup membuat film ini menjadi kurang greget karena aksi dan karakter donny alamsyah yang sudah sangat baik, menjadi berkurang persentase kesempurnaannya karena lawan fight yang tidak mumpuni.

review film TJokroaminoto sang guru bangsa



Film pada umumnya memang tidak selalu harus berpijak pada kenyataan. Namun, pada jenis dokumenter dan biopik, akan selalu ada sejarah maupun fakta yang membayang-bayangi dalam pembacaannya. Ketidakakuratan bisa menjadi kontroversi besar, seperti pernah terjadi film Soekarno: Indonesia Merdeka. Lalu, bagaimana cara merekonsiliasi antara seni membuat film dengan kenyataan dari subjek atau peristiwa yang difilmkan?

Halangan yang paling awal menghadang adalah durasi film. Dalam sebuah biopik, misalnya, tidak mungkin menghadirkan seluruh aspek kehidupan sang tokoh secara utuh ke dalam bentuk film fitur. Sang pembuat film harus dengan cermat memilih bagian mana dari kehidupan yang tokoh untuk sebagai kendaraan untuk mengeksplorasi kedalaman motivasi dan karakternya. Sayangnya, di Indonesia, tendensi untuk menjejalkan begitu banyak narasi ke dalam film biopik masih sering dilakukan. Hal ini pula yang terjadi pada film Guru Bangsa: Tjokroaminoto.

Tjokroaminoto (Reza Rahardian) adalah anak dari Tjokroamiseno, seorang pamong praja yang juga keturunan bangsawan. Kakek Tjokroaminoto adalah seorang pamong praja juga, namun kakek buyutnya adalah seorang kiai (Kyai Bagoes Kasan Besari). Demikian ia mengenalkan diri pada adegan awal di penjara Kalisosok saat Belanda menangkapnya. Adegan beralih kepada Tjokro kecil (Christopher Nelwan) yang melihat seorang budak disiksa karena menumpahkan karet.

Oleh seorang kiai, Tjokro menerima petuah mengenai hijrah (pindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik) dan iqra (perintah untuk membaca). Adegan berlanjut adegan di sekolah saat ia dihukum gurunya akibat protes terhadap penjajahan Belanda. Tjokro lalu dinikahkan dengan Soeharsikin (Putri Ayudya). Setelah menjadi pegawai perkebunan, ia pindah ke Semarang untuk mencari rumusan tentang hijrah seperti apa yang akan diwujudkan bangsa ini. Ia lalu pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada surat kabar, sementara istrinya membuat batik sekaligus mengurusi rumahnya yang dijadikan kos-kosan. Kos-kosan ini, yang disebut Rumah Paneleh, dihuni oleh pemuda-pemuda yang kelak menjadi orang-orang besar Bangsa Indonesia, seperti Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), dan Soekarno (Deva Mahenra). Di sinilah Tjokro mendirikan Sarekat Islam dan menjadikannya sebuah organisasi besar.

Dengan begitu lebarnya sejarah Tjokro yang hendak diceritakan oleh Garin, mau tidak mau ia menghadirkan ansambel tokoh yang luas. Selain tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pejabat-pejabat Belanda, dihadirkan pula Stella (Chelsea Islan), anak Belanda dan pribumi yang mengalami diskriminasi. Ada juga Abdullah (Alex Abbad), pegawai Belanda yang berasal dari Yaman, serta tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah seperti Mbok Tambeng (Christine Hakim), penjual kursi kayu, hingga Bagong.

Nampaknya, durasi 2,5 jam tidaklah cukup buat film ini. Konsekuensi yang nampak adalah penggunaan shot-shot yang pendek dengan adegan-adegan yang berlompatan. Dalam beberapa dialog yang menyangkut tahun dan peristiwa sejarah dilemparkan dengan cepat sehingga terkesan seperti ada orang yang sedang membacakan buku sejarah kepada penonton. Garin tidak memberikan waktu bagi adegannya untuk menjadi kokoh terlebih dahulu, sehingga ekses informasi, cerita, dan tokoh ini ini membuat penonton masih harus mencerna beberapa adegan sebelumnya di saat adegan yang baru sudah dimunculkan di layar.

Dalam beberapa adegan lain dialognya seakan-akan dibuat profound namun sebenarnya minim penjelasan. Misalnya, nasehat yang diutarakan Ibu dari Soeharsikin (Maia Estianty) kepada putrinya, “Suamimu itu sedang mengikuti semesta”, atau dari Hasan Ali Surati (Alm. Alex Komang) kepada Tjokro bahwa “buruh adalah politik. Buruh adalah zaman.” Tidak ada pendalaman karakter maupun pendalaman adegan menyebabkan dialog-dialog seperti ini seakan hanya tampil seperti slogan atau malah out-of-character. Dengan kata lain, yang nampak dari film Tjokro hanyalah kelebaran bukan kedalaman, karena terlalu banyak yang dikatakan dan bukannya ditunjukkan.

Menghadirkan Tjokro ke Masa Sekarang

Melalui narasinya yang lebar, sang pembuat film dapat dengan leluasa menyatakan sikapnya terhadap beberapa hal. Sosok Tjokro historis lantas menjelma menjadi sosok Tjokro yang kontemporer dengan komentar-komentar yang relevan bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang.  Dalam beberapa hal, ada kesamaan yang dilakukan Garin dalam film Tjokro dengan filmnya sebelum ini, Soegija.

Yang pertama adalah sikap mengenai isu rasialisme. Pada film Soegija, ada kisah Lingling, gadis Tionghoa yang dekat dengan Romo Soegijapranata. Di dalam Tjokro, yang hadir adalah konflik antara pedagang Tionghoa dan kaum pribumi karena hasutan Belanda. Mendamaikan mereka, Tjokro berseru “Kalau Jawa dan Tionghoa bersatu, maka subur tanah ini!” Hal yang sama hadir dalam Stella yang mengalami kebingungan identitas antara menjadi pribumi atau Belanda. Sayangnya, konflik antaretnis mendadak lenyap dan tak disinggung lagi, seakan semuanya selesai oleh kata-kata bijak Tjokro Bahkan peran etnis Tioghoa juga hilang di paruh kedua film. Bagi Stella pun tak ada jawaban, selain bahwa orang-orang seperti Stella ini akan dilindungi oleh pemerintahan yang baru, yang bukan di bawah Belanda.

Yang tampil lebih kuat justru pada sikap Tjokro mengenai perbedaan ideologi. Ketegangan antara Islam, nasionalisme, dan komunisme dalam anak-anak didiknya disikapi dengan pernyataan yang humanis, bahkan terkesan liberalis. Bagi Tjokro, pikiran-pikiran baru ini baik, dari manapun datangnya, yang lebih penting adalah bagaimana jangan sampai pikiran-pikiran ini tidak diterjemahkan dengan cara kekerasan. Berulang kali Tjokro menekankan tentang bahaya kekerasan terhadap persatuan dan persaudaraan dalam rumah (baca: bangsa) yang ia cita-citakan berhijrah ke keadaan yang lebih baik.


Ini memang bukan gambaran yang akurat tentang Tjokro historis, yang mencita-citakan pemerintahan baru oleh pribumi di bawah naungan Islam. Tjokro historis dengan lantang menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Akan tetapi, ia tidak setuju dengan sosialisme a la Bolshevik. Lewat bukunya Islam dan Sosialisme, ia menyatakan bahwa sosialisme yang benar adalah sosialisme a la Islam yang diejawantahkan oleh Nabi Muhammad dulu.

Tjokro historis juga pernah menyetujui berdirinya Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TNKM) pada Februari 1918 sebagai respons atas tulisan yang menghina Islam dalam surat kabar Djawi Hiswara. Ini tentu disonans dengan sosok Tjokro dalam film. Tjokro dalam film membiarkan saja komunisme Bolshevik Semaoen, bahkan tanpa ada kontestasi ide, hanya karena “Semaoen itu orang pintar. Pasti yang diperbuatnya ada dasarnya.” Ketidakakurasian ini mungkin bisa dipahami sebagai sarana untuk mengomentari keadaan Bangsa Indonesia sekarang, di mana tuduhan bernada rasis kepada etnis Tionghoa, tuduhan komunis, dan kekerasan sering dipakai menjadi alat politik.

Di samping itu, dilontarkan juga komentar-komentar lain tentang pendidikan, agraria, pajak, serta pentingnya koperasi bagi kesejahteraan buruh dan petani. Hal-hal tersebut sebenarnya bisa saja dikembangkan untuk memperkuat relevansi pesan film ini bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Namun, alih-alih dikuatkan sebagai kunci untuk menyelami pemikiran Tjokro dan anak-anak didiknya di kala itu, mereka hanya mampir sekilas sebagai pengisi dialog. Simak perdebatan antara kubu Agoes Salim dan kubu Semaoen mengenai mana yang harus didahulukan antara pendidikan dan agraria, contohnya. Yang nampak malah justru seperti debat kusir dengan pengulangan kata-kata namun miskin argumentasi dan elaborasi. Sungguh disayangkan, mengingat anak-anak didik Tjokro sebenarnya adalah orator-orator ulung dengan kemampuan berargumentasi yang tajam seperti yang ada dalam tulisan-tulisan mereka di koran.

Pada akhirnya, hijrah yang dikehendaki Tjokro tetap kabur hingga akhir film. Kesan yang tertinggal adalah bagaimana kita harus menaruh harapan kepada keadaan yang lebih baik – keadaan yang “sama rata, sama rasa” bagi yang kaya maupun yang miskin. Namun, dalam bentuk apakah ia mesti mewujud di masa sekarang ini? Bagaimana juga cara mencapai keadaan yang lebih baik? Apakah lewat nasionalisme yang arkaik di bawah negara? Ataukah lewat sosok pemimpin yang mesianistik, pada sosok Ratu Adil atau Satrio Piningit seperti Tjokro–seperti yang sering disematkan pada beberapa Presiden Indonesia? Rupanya kontemporerisasi sosok Tjokro juga tidak serta merta menjawab pertanyaan ini.

Secara filmis, film Tjokro tidak lebih baik dari biopik yang digarap Garin sebelumnya. Pejabat-pejabat Belanda tampil sebagai tokoh jahat yang karikatural. Bahkan kepada Belanda seperti Henk Sneevliet, yang ikut berjuang bagi Indonesia lewat parlemen Belanda dan tulisan-tulisannya dikarikaturisasi dengan dialog semacam, “Kita organisasi elit putih. Kita hanya tahu kopi dan kafe.” Beberapa adegan juga menggunakan kosa gambar yang melodramatis, seperti menangis di bawah hujan diiringi musik pengiring yang menyayat hati. Kekuatan pengadeganan dari Garin justru muncul dalam shot-shot hitam putih di Penjara Kalisosok. Dengan absennya warna dan senyapnya musik pengiring, emosi tampil menonjol lewat akting Reza Rahardian.

Sesungguhnya Garin bisa memaksimalisasi filmnya dengan menghilangkan tokoh-tokoh yang tidak terlalu sentral, seperti tokoh Bagong atau penyanyi teater. Alih-alih menceritakan panjang lebar dari kecil hingga tua, film ini bisa juga mencuplik sebagian kisah hidup Tjokro kemudian menjadikan konflik-konflik yang terjadi di masa itu sebagai basis untuk mendalami karakter dan kisahnya. Moda penceritaan dengan mencuplik seperti ini pernah dilakukan dalam biopik Tjoet Nja’ Dhien dan film-film biopik karya Oliver Stone seperti Nixon dan JFK.

Masa-masa perpecahan Sarekat Islam sebenarnya menawarkan banyak potensi cerita. Contohnya, ketika masa itu Tjokro pernah dituduh menggelapkan dana oleh Darsono. Ada juga kekecewaan banyak anggota SI karena Tjokro menjadi anggota Volksraad serta peristiwa Afdeling B, yang dua-duanya tidak terlalu didalami di film ini. Ada juga kengototan Agoes Salim-Abdoel Moeis dan debat-debat sengit tentang disiplin partai untuk menyingkirkan kelompok Komunis Semaoen dari Sarekat Islam.

review 3 Nafas Likas


Dua tahun setelah ia mengangkat kisah hidup KH Hasyim Ashari, Rako Prijanto mengalihkan pandangannya ke Sumatera Utara. Tepatnya di Tanah Karo. Di sana, ada perempuan bernama Likas Tarigan, istri Letjen Djamin Gintings. Dibanding KH Hasyim Asyari, nama Letjen Djamin Gintings mungkin belum begitu dikenal luas masyarakat Indonesia. Bagaimana membikin sebuah film tentang isteri seorang pahlawan nasional yang tak begitu luas dikenal, tanpa tokoh utamanya menjadi bayang-bayang sang suami? Inilah tantangan yang semestinya dijawab oleh Rako Prijanto.

Film 3 Nafas Likas dibuka dengan Hilda (Marissa Anita) berkendara dalam sebuah jip yang menyusuri sebuah perkebunan. Hilda pergi ke perkebunan itu untuk menemui Likas Tarigan (Tutie Kirana) dalam rangka penulisan buku biografi tentang Likas. Sebagai catatan, buku Perempuan Tegar dari Sibolangit karya Hilda Unu-Senduk adalah basis film ini.

Film ini lantas mengajak kita mengikuti perjalanan Likas (sebagaimana dituturkannya sendiri) bersama ketiga “nafas”-nya: ibu (Jajang C Noer), kakak Njoreh Tarigan (Ernest Samudra), dan suaminya Djamin Gintings (Vino G Bastian) dalam tiga potret kehidupannya: kehidupan masa kecilnya di Sibolangit, kehidupannya setelah lulus sekolah guru menjadi istri seorang pejuang, dan kehidupan masa tuanya menjadi isteri pejabat pascaproklamasi kemerdekaan sampai sekarang.

Kita melihat bagaimana Likas menyikapi kodratnya sebagai perempuan, sebagai seorang istri/ibu, dan juga sebagai seorang pejuang—jika definisi pejuang boleh diperlebar. Sedari kecil, Likas berani menentang patriarki. Ia tak ingin mengikuti kodrat perempuan yang di zamannya "diperuntukkan" untuk membantu suami mengurus keluarga, ternak, dan ladang bahkan hingga larut malam ketika para suami bersenang-senang minum tuak. Dengan dukungan ayah (Arswendi Nasution) dan kakaknya, ia ingin bisa mencari uang sendiri dengan menjadi guru, meskipun ibunya menentangnya.

Keinginannya mengangkat martabat perempuan bahkan masih terbawa sampai ia lulus kelak dari sekolah guru, saat ia berpidato dengan berapi-api di pertemuan pemuda Karo. Dengan lantang ia menyuarakan agar perempuan berani menuntut hak-haknya. Pertemuan pun geger, namun ia tak gentar. Dalam pelarian, ia pun pernah memimpin sekelompok wanita dan anak-anak termasuk ibu mertuanya, untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Satu adegan di mana Likas memeluk seorang wanita yang bayinya meninggal karena kedinginan dalam pelarian adalah salah satu momen yang paling kuat dan emosional di film ini. Pengayoman seorang pemimpin dan kelembutan seorang ibu melebur dalam diri Likas pada adegan tersebut.

Melodrama
Namun di paruh kedua film, sayangnya, tokoh Likas seakan hanya menjadi aksesoris sang suami, Djamin. Narasi Likas sebagai wanita yang tahan banting dan independen menjadi pudar oleh “domestikasi” dirinya. Ia direduksi menjadi “hanya” istri seorang pejabat, pengurus suami sepulang kerja dan anak-anaknya –persis yang pernah diutarakan ibunya dulu saat menentang dirinya masuk sekolah guru. Film ini seakan-akan hendak mengawinkan kisah independensi wanita seperti Tjoet Nja' Dhien-nya Eros Djarot, dengan romantisasi istri-sebagai-penyokong-suami a la Habibie & Ainun.

Sayangnya, seperti tren film biopik Indonesia belakangan yang melibatkan sosok wanita (Hijrah Cinta, Habibie & Ainun), 3 Nafas Likas ikutan terjebak dalam gaya melodrama domestik. Yang lebih disesalkan, tak seperti Habibie & Ainun atau Hijrah Cinta di mana tokoh utamanya adalah pria, 3 Nafas Likas sedari awal hendak menghadirkan wanita sebagai pusat film ini. Apa lacur, eksistensi tokoh Likas malah bergantung dengan eksistensi si laki-laki. Ia diceraikan dari pencapaian di luar peran domestiknya.

Mirip film-film Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II tahun 1940-1950-an (misalnya film-film Douglas Sirk), romantic love dan domestic/familial love menjadi sesuatu yang dirayakan pada film-film melodrama domestik. Bila film sejarah (seringkali berlatarbelakang masa perang) selalu menempatkan figur protagonis laki-laki sebagai manusia yang sedang menjalankan petualangan atau kepahlawanannya, maka film-film seperti ini menempatkan wanita sebagai tokoh utama yang berada dalam keadaan ditinggalkan. Kerapuhan wanita menjadi pusat emosional untuk membikin penonton terharu, dan sebisa mungkin keluar dari bioskop dengan mata sembab.

Selalu ada komponen ekses dan ketidakcukupan dalam struktur penceritaan wanita dalam film melodrama. Di satu sisi, wanita menjadi independen dan otonom seperti laki-laki, yang akhirnya membawa konflik karena ia harus melawan keluarganya demi pekerjaan. Di ujung spektrum yang lain, sang wanita memeluk konsep konvensional dari “wanita feminin”sampai pada taraf—meminjam kata-kata Lesley Johnson dan Justine Lloyd, dua profesor penulis buku tentang feminisme dan ibu rumah tangga—living her life through others, dalam hal ini adalah lewat kehidupan sang kekasih/suami atau keluarganya.

Ketakutan Likas berpisah dengan sang suami yang digambarkan berulang-ulang mulai dari suaminya saat masih menjadi pemimpin gerilyawan, sampai saat suaminya sudah menjadi pejabat tinggi mengkonfirmasi sentimen seperti ini. Seperti Kartini pada bagian akhir hidupnya, semangat kepemimpinan, progresivisme, dan kesetaraan di awal-awal kehidupan Likas mulai mengendur pada bagian kedua film ini.  



Hal ini bukannya tak bisa diakali. Ada perjalanan usaha dan karir Likas yang tak difilmkan. Masih belum jelas juga mengapa Rako Prijanto lebih memilih utnuk memfilmkan adegan di mana Likas dilatih etiket a la sekolah kepribadian oleh Ny. Oey (Olga Lydia), daripada misalnya kisah hidup Likas ketika ia menjadi pemilik supplier ayam potong di Bintaro (seperti yang saya baca dari kesaksian beliau di laman Gereja Batak Karo Protestan), atau saat ia menjabat sebagai anggota MPR. Bukankah lebih menarik melihat bagaimana Likas bisa mendirikan PT. Amal Tani, sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas di Sumatera Utara, daripada menyaksikan ia kebingungan menghadapi gegar budaya karena ia dan suaminya mendadak menjadi borjuis kecil?

Ada juga dimensi dari seorang Likas sebagai seorang organisator yang begitu teliti yang alpa dieksplorasi oleh Rako (kecuali dalam satu adegan di awal film dan satu lagi di kedutaan besar RI di Kanada. Itu pun hanya disebutkan). Plot di paruh kedua seakan-akan dibuat untuk mengakomodasi perjalanan karir Letjen Gintings yang menanjak cepat (atau justru mengakomodasi tampilnya Vino G Bastian?). Kita dibuat menonton sempalan-sempalan tentang kehidupan Likas yang tak dikembangkan secara dalam, bak nafas yang tersengal-sengal.

Karena itu (sayangnya) film ini pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah film melodrama dan bukannya film historis tentang sejarah bangsa atau seorang pahlawan perang, maka sejarah bangsa Indonesia hanya mampir sebagai backdrop. Tak ada tautan atau kontekstualisasi yang menunjukkan signifikansi antara sejarah bangsa ini dengan kehidupan Likas (selain perang membuat hidupnya susah), maupun antara dirinya dengan sejarah bangsa ini. Sejarah yang tunduk pada subjektivitas membuat film ini mengalami dislokasi, ia terasing dari latar belakangnya sendiri, dan akhirnya gagal membuat commentary mengenai sejarah bangsa Indonesia.
Bahkan Djiman Gintings, sebuah representasi karakter bangsa Indonesia pra- dan awal-awal kemerdekaan yang masih kental dengan semangat nasionalisme dan militerisme pun tak berkomentar apa-apa mengenai rezim-rezim tempat ia mengabdi, meskipun Orde Lama dan Orde Baru adalah antitesis. Komentarnya hanyalah sebuah inconvenience: bahwa ia adalah orang militer lapangan, yang tak cocok menjadi pejabat kantoran seperti duta besar.

Memang, Rako Prijanto menunjukkan bahwa tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan khazanah bagi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa ini yang belum lengkap. Masih ada Likas-Likas lain di luar sana, masing-masing dengan kisah-kisah kecilnya tentang sejarah—entah sebagai antek rezim, entah sebagai korban dari rezim—yang menunggu agar nafasnya terhembus di permukaan. Hanya saja semoga selanjutnya sejarah tak sekedar menjadi backdrop sebuah drama keluarga.

Rabu, 25 November 2015

Review Merry Riana


Bagi yang sudah mengenal sosok Merry Riana, siapa dia dan apa yang dilakukan sampai bisa jadi seterkenal sekarang, berkat membaca buku yang katanya begitu menginspirasi banyak orang Indonesia ini, keterbatasan film dalam mengeksplor karakter utama mungkin tak akan terlalu mengganggu. Tapi buat saya yang tidak pernah menyentuh buku tentang Merry Riana, hanya punya sedikit info tentang perempuan yang memperoleh satu juta dolarnya di usia 26 tahun tersebut, film ini jelas tak memberikan saya cukup motivasi untuk terhubung dengan apa yang sedang saya tonton. Saya tahu “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” ini merupakan adaptasi bebas dari bukunya, tidak terikat dengan embel-embelbased on cerita sebenarnya melainkan terinspirasi dari kisah tersebut. Tapi kata “bebas” bukan berarti seenaknya meminggirkan apa yang diperlukan film ini sejak awal, yaitu memberikan Merry Riana asupan background karakter yang layak. Mengambil jalan pintas karena terburu-buru untuk melompat ke bagian romansa dan tetek-bengek konflik cinta segitiga (untuk kesekian kali), film ini lupa pada kelompok penonton yang datang ke bioskop karena tujuannya untuk menonton film, bukan menghadiri acara motivasi-motivasian. Lagipula untuk film yang tujuannya agar penonton membawa pulang “kisah yang inspiratif”, kok rasa-rasanya sepanjang film saya tak melihat sesuatu yang terbilang “menginspirasi”.
“Entah apa yang salah, apa yang jadi masalah… aku tak tahu”, lirik dari lagu yang berjudul “Aku dan Masalah” dan dinyanyikan oleh Sarah Saputri, yang terdengar menemani salah-satu adegan “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” tersebut, seperti mewakili isi pikiran saya selesai menonton film yang disutradarai Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Pengejar Angin) ini. Apa yang salah? Setting tahunnya? Hmmm, banyak yang mengira “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” berlatar 1998, saya tak menyalahkan orang-orang yang menafsirkan seperti itu, karena saya pun punya pikiran yang sama, karena dipertontonkan gambar kerusuhan di awal film, yang langsung mengarahkan pikiran saya ke peristiwa kerusuhan 13 Mei-15 Mei 1998 tersebut. Lagipula aslinya Merry Riana memang hijrah ke Singapura pada tahun dimana Jakarta dan kota-kota di Indonesia sedang dilanda kerusuhan besar. Jika film ini ber-setting 1998, kenapa Singapura sudah punya Marina Bay Sands yang sekarang jadi salah-satulandmark terkenal disana, bukannya baru rampung dan dibuka sekitar tahun 2010. Belum lagi gadgetyang bertebaran tak sesuai tahun, jika diteliti lagi gaya pakaian yang dikenakan pun sangat kekinian. Memang tak ada penjelasan tahun sampai akhirnya ada adegan yang menunjuk bahwa film ini ternyata berlatar tahun 2012—bisa dilihat di adegan ketika Merry Riana yang diperankan oleh Chelsea Islan sedang searching di google. Saya kemudian dapat memaklumi, karena sekali lagi ini adaptasi bebas, si penulis serta pembuat film bisa terserah mereka memindahkan setting ke tahun 2012, termasuk mengada-ada soal kerusuhan yang kembali terjadi di Jakarta.
Dipikir-pikir lagi memang akan menyusahkan jika latar tahun film ini setia pada kisah nyatanya, menyulap Singapura ke tahun 1998, ribet. Makanya ketimbang susah-susah, “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” pakai mesin waktu dan lompat ke 2012, jaman dimana sudah ada smartphone canggih buat main saham tinggal klik nantinya. Move on, lalu apa yang menjadi masalah? Karakter utama alias si Merry Riana tidak diberikan porsi perkenalan yang layak, film ini bisa dibilang menyodorkan Merry Riana yang sudah jadi, tanpa menyediakan waktu bagi saya, penonton yang tak mengenal Merry melihat terbentuknya seorang Merry, behind the scene serta proses bagaimana pada akhirnya Merry bisa jadi seperti yang kita lihat di layar. Apakah dia pintar di sekolah dulu? Makan apa Merry Riana sampai bisa punya energi yang tak pernah ada habisnya? Informasi seperti itu tak dapat ditemukan di filmnya, alih-alih film melompat siap menubrukkan karakter utama dengan konflik berlapis. Mungkin durasi filmnya tak cukup untuk menguatkan pondasi karakternya, detil lebih lanjut bisa cari sendiri diinternet, terlalu banyak yang harus diceritakan dan (mungkin) keputusan bijak untuk skip bagian yang bertele-tele tentang background Merry. Jadi film punya lebih banyak ruang untuk bercinta-cintaan dan menjejali saya dengan ekspresi mengerikan Chelsea Islan.
Siapa sangka Chelsea Islan yang begitu mempesona di “Street Society” kemudian berubah menakutkan ketika menjelma menjadi Merry Riana. Kalau tujuannya itu untuk menekankan kegigihan yang melekat pada diri seorang Merry Riana, saya rasa tak perlu terlalu berlebihan, saya malah melihat Chelsea seperti orang yang kebanyakan minum red bull, mabuk minuman berenergi. Makanya dalam kondisi apapun, energi menggebu-gebu Merry seperti tak ada habis-habisnya, mungkin sebetulnya di film ini Merry adalah robot, bukankah ini adaptasi bebas, tidak ada salahnya jika sekalian membuat Merry ditenagai baterai energizer, karena disini Merry memang mirip kelinci di iklan energizer yang tak berhenti memukul drum. Di film Chelsea tak ada capeknya memperlihatkan semangat menggebu-gebunya, yang kadang tak pada tempatnya, sekali lagi justru mengerikan. Serius bukannya simpatik dan memberi kesan inspiratif, saya justru ketakutan melihat aktingnya yang sangat berlebihan. Well, tak semua yang diperlihatkan karakter Chelsea di “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” meninggalkan kesan buruk, saya suka ketika karakternya diperlihatkan manusiawi, setidaknya Merry masih dipertontonkan bisa khilaf dan melakukan kesalahan. Untungnya, film ini masih punya Kimberly Ryder dan Dion Wiyoko yang diluar dugaan lebih terlihat natural, serta tak lupa hadirnya Ferry Salim dan Cyntia Lamusu sebagai mama dan papa Merry, mereka mampir sebentar memberi sedikit kehangatan ke dalam film.

Review film ANgker




Pertanyaan paling mendasar “apakah filmnya seram?” kemudian terlintas sesaat setelah credit titlemulai menggulung layar bioskop. Sebelum orang lain bertanya pendapat saya tentang film horor yang baru saja saya tonton, saya memang suka iseng bertanya pada diri sendiri, “apakah filmnya seram?”.Well, jika pertanyaan tersebut tertuju kepada saya, jawabannya sudah pasti “Angker” itu seram. Untuk ukuran film horor lokal, “Angker” seperti sebuah pelepas rindu, saat saya kangen ingin menonton film horor Indonesia yang bisa menakut-nakuti saya di bioskop. Namun kata seram itu relatif, balik lagi pada masing-masing penontonnya, untuk saya yang memang penakut, “Angker” jelas sudah sukses membuat mulut ini jadi kotor, penuh kata sumpah-serapah (dalam artian yang positif) efek instant dari rasa girang karena sudah ditakut-takuti. Untuk orang yang ke bioskop untuk cari “takut”, tentu saja saya senang ketika menemukan rasa takut itu di “Angker”. Jadi seram atau tidaknya sebuah film horor, selalu kembali ke individunya, buat saya film ini seram tapi belum tentu orang lain, bisa saja malah membosankan.




Sesuai judulnya yang se-simple “Angker” bukan “Hantu Penunggu Odong-Odong” atau judul bodoh semacam “Setan Narsis Doyan Selfie”, konsep yang dibagikan oleh Muhammad Yusuf lewat film horornya juga sesederhana judulnya. Premis yang diusung pun sederhana, Ratna (Lia Waode) dan keluarganya pindah rumah ke daerah Bangil Jawa Timur, kemudian mereka dihantui sosok nenek berwajah pucat. Yah, hantu nenek-nenek yang belakangan diketahui bernama Mbah Tun tersebut tampaknya tidak senang dengan kehadiran penghuni baru di rumahnya. Untuk segi penceritaan, “Angker” memang bakal terlihat begitu lemah, termasuk tak banyak yang diceritakan mengenai keluarga Ratna, hanya sepotong-potong yang kita ketahui tentang keluarga baru penghuni rumah yang katanya angker tersebut. Banyak detil yang tampaknya dikurangi, karena “Angker” harus berbagi dengan bagian yang mengupas horor, toh sekali lagi saya sedang menonton film horor bukan drama. Ketika saya bilang lemah bukan berarti cerita “Angker” saya bilang ngasal, ceritanya sudah cukup menopang muatan horornya, terlebih film ini penuh elemen lokal yang membuat “Angker” jadi Indonesia banget. Jadi saya bisa kesampingkan kekurangan film ini dalam segi bercerita, karena tujuan film ini bukan untuk menyajikan dongeng sebelum tidur, tapi menjejalkan mimpi, yah tentu saja mimpi buruk dengan rasa lokal yang sangat kental.



Saya menyukai “Angker” bukan saja karena film ini sudah mampu mengantarkan perasaan yang saya inginkan ketika menonton sebuah film horor, tapi juga ketika rasa takut dan perasaan mencekam itu tercipta tidak serba instant tapi melalui proses yang dibangun sejak awal film. Proses itulah yang membuat saya tak saja senang tapi juga puas saat “Angker” berhasil menakuti, karena saya menikmati bagaimana film ini membangun rasa takut itu perlahan-lahan. Mulai dari rumah sampai nantinya kita dipertemukan dengan sosok Mbah Tun. Muhammad Yusuf tahu men-treatment rumah tidak saja sebagai sebuah setting belaka, rumah yang ditempati Ratna-lah yang jadi pondasi horor di film ini. “Ini film rumah berhantu, mari kita bikin penonton takut sama rumahnya, dulu”, mungkin itulah yang ada di benak Muhammad Yusuf, ingin penonton juga ikut merasakan apa yang Ratna rasakan, ikut tidak nyaman dengan penampakan rumah. Maka sebelum film ini memperkenalkan karakter manusianya, Yusuf memilih untuk menyeret saya dan penonton lain untuk mengenal rumah dan tiap sudutnya. Membiarkan penonton untuk menumpuk rasa penasaran dan ketakutannya, cara Yusuf terbukti bekerja dengan baik, rasa cekam dan atmosfir tidak mengenakan mulai mengerubungi, padahal kita belum diperlihatkan penampakan apa-apa. Rumah di “Angker” jadi punya peranan penting dalam membangun keseluruhan horor di film ini.

Review Film Nay



Saya tidak menyangkal kemiripan antara Nay dengan Locke (Steven Knight, 2013) yang dilakonkan dengan sangat cemerlang oleh Tom Hardy tersebut. Tapi akan tidak adil rasanya jika kata-kata menyontek itu hanya bersumber pada sebuah trailer berdurasi 2 menit, atau lebih dungunya lagi kalau ikut-ikut menuduh bilang plagiat, padahal belum nonton kedua filmnya. Saya tak perlu heran, toh poster film Indonesia yang ada gambar pemainnya ngadep sama persis dengan posterHollywood, langsung begitu gampangnya diteriaki nyontek. Djenar Maesa Ayu itu penulis, dia tahunyontek itu haram. Lagipula yang disebut orisinil malah belum tentu se-orisinil itu. Steven Knight mungkin juga “nyontek” dan memperoleh idenya dari film lain yang sedang dia tonton, siapa tahu kan. Ya, terlepas dari mirip, termasuk hadirnya monolog dan setting yang memanfaatkan mobil, Djenar setidaknya sanggup memodifikasi Nay jadi suguhan yang berbeda. Ada rasa yang jelas tak sama ketika saya ikut menumpang duduk di mobil BMW X5-nya Ivan Locke dengan Mini Cooper berwarna kuning yang disetiri oleh Nay.


Saya orang yang tak pandai cari-cari kesalahan dalam sebuah film, apalagi ketika Nay sanggup membuai dan sibuk mengajak penontonnya berkontemplasi selama 80 menit durasinya, selama kita berada di kursi belakang, sambil mengamati luar jendela mobil. Ada pengemis meminta-minta sedekah untuk makan. Ada gedung-gedung yang berlomba menyentuh langit. Ada barisan mobil mengantri panjang. Ada jajanan pinggir jalan yang menggoda. Ada dua perempuan yang marah. Ada Jakarta yang terasa amat puitis. Kemana Jakarta yang saya kenal? Jalanan Jakarta yang barbar itu? Film Nay seperti menyembunyikan wajah barbarnya, mengganti wajahnya yang dekil semrawut jadi terkesan mendamaikan. Bahkan jalan Gatot Subroto yang brutal, yang biasanya penuh pengendara berwajah merah, bermata murka, siap memaki berteriak “anjing!” apabila jalurnya terpotong, malam itu di film Naytergambar berbeda. Walaupun masih diperlihatkan deretan mobil yang berjajar “parkir” membentuk garis agak tak beraturan, jalanan Jakarta terkesan lebih ramah, menenangkan, berhias cahaya lampu lalu lintas dan penerang jalan.


Djenar tidak hanya mengajak saya jalan-jalan melihat Jakarta, menemani Nay di balik kemudi—sedangkan saya anteng di kursi belakang mendengarkan coleteh dan amukannya, tapi juga memberikan saya sebuah pengalaman yang berharga, dari jalan-jalan yang setiap jengkalnya penuh makna. Dari tujuan awal ke rumah Ben, untuk mendiskusikan soal masa depan janin yang sekarang menghuni perut Nay, sampai napak tilas yang nantinya membuka lembar demi lembar masa lalu kelam Nay, perjalanan ini benar-benar membuat saya tak lagi tergoda untuk lihat ke luar jendela, menikmati lembutnya malam Jakarta, tapi justru tertunduk diam menatap ke dalam batin, merenung. Orang di kursi belakang itu sekarang bukan lagi hanya pengamat dan pendengar, tapi nimbrung diajak berdialog. Walau Nay tak pernah sekalipun menengok ke belakang atau mengintip spion tengah, walau saya dengan Nay tak pernah bertatap langsung, film ini serasa menyeret saya ke dalam obrolan. Tanpa sadar, saya sesekali mencoba menenangkan Nay, “Tenang dong Nay”, sesama manusia yang gampang ngamuk, saya tahu itu percuma


Perjalanan Nay terbingkai dengan sinematografi nan elok, membuat mata terasa adem, selagi emosi terguncang. Ipung Rachmat Syaiful di balik kameranya sudah melakukan pekerjaannya dengan sangat jempolan, tidak hanya menyulap chaos-nya jalanan Jakarta jadi terkesan puitis, tetapi juga mampu menghadirkan mood yang tepat dalam tiap adegan, yang pada akhirnya membuat saya begitu nyaman mendampingi monolog Nay. Memilih Sha Ine Febriyanti sebagai Nay pun adalah langkah yang begitu tepat, olehnya, karakter Nay tak hanya jadi memiliki nyawa, monolognya pun hidup dan tampil memikat. Hadirkan performa akting berkelas, Sha Ine Febriyanti menjelma jadi karakter yang tahu bagaimana mengajak saya ikut berinteraksi, larut semakin dalam kala konflik dan emosi makin memuncak. Diantara tawa dan letupan amarah, Sha Ine Febriyanti dan Djenar berkolaborasi menciptakan karakter yang membuat saya peduli dan ingin makin mengenalnya di sepanjang perjalanan Nay. Saya ikut marah, saya ikut sesak, saya ikut senyum, malam itu saya mendapat teman ngobrol yang asyik bernama Nay, walaupun tak pernah bertatap langsung. Terima kasih buat jalan-jalannya, Nay, terima kasih.