Siti sebetulnya sudah beredar
sedari tahun 2014 silam, tapi karya terbaru Eddie Cahyono ini memang tak
rilis secara luas, berbeda dengan Cewek Saweran yang sempat nangkring di bioskop, walaupun umurnya tidak panjang alias cepat turun layar. Setelah Siti berkeliling festival dalam dan luar negeri, termasuk Singapore International Film Festival dan Jogja-Netpac Asian Film Festival, penayangannya pun terbatas hanya di bioskop-bioskop alternatif dan ruang-ruang screening saja. Beberapa kali melewatkan pemutaran Siti, saya akhirnya “berjodoh” saat filmnya diputar oleh Festival Film Indonesia, berbarengan dengan keempat film lain yang terpilih di daftar nominasi film terbaik, termasuk Mencari Hilal dan Toba Dreams. Bisa menonton Siti
yang selama ini ditunggu-tunggu saja sebetulnya jadi sumber kegembiraan
untuk saya, ketika dapat menyaksikan dalam format layar lebar, ini
adalah sebuah pengalaman langka. Apalagi Siti nantinya ditampilkan hitam putih dengan aspect ratio 1:33:1, seperti yang disuguhkan oleh Michel Hazanavicius di The Artist, dan film Polandia berjudul singkat Ida garapan Paweł Pawlikowski.
Terpicu oleh keadaan perekonomian yang
sulit-melilit, ditambah suaminya yang tidak lagi bekerja karena lumpuh
dan tanggungan hutang beli kapal, Siti terpaksa harus bekerja siang dan
malam untuk menghidupi keluarganya. Siangnya panas-panasan jualan peyek
jingking di Parangtritis dan malam hari menjadi pemandu karaoke,
menemani tamu-tamu bernyanyi. Di balik tawa dan senyum, di tengah
kesibukan mengurusi rumah, anak dan suaminya, Siti ternyata menyimpan
pedih dan menyembunyikan rasa frustasinya. Semua memuncak ketika
tempatnya cari uang malah digerebek oleh polisi, tidak mungkin hanya
mengandalkan hasil dari jualan peyek yang sepi pembeli, sedangkan uang
untuk membayar hutang belum terkumpul. Eddie Cahyono memang tak akan
langsung memperlihatkan tekanan batin yang dirasakan oleh Siti, filmnya
seakan ingin rasa kesal, bimbang dan sakit hati tersebut untuk
bersembunyi sejenak. Alih-alih memberikan penonton visual yang terasa
depresif, Siti justru mengajak guyon, terutama bersumber dari
dialog Bintang Timur Widodo yang memerankan Bagas—anak Siti—termasuk
saat dia bercerita tentang sosok hantu menyeramkan yang mengganggunya di
sekolah.
Tiap adegan di Siti digulirkan
begitu sederhana, dari gambar sampai ke obrolan-obrolan yang nantinya
mengisi, memenuhi 90-an menit durasinya, menampilkan karakter-karakter
yang membumi dan juga manusiawi. Seperti setting-nya yang apa
adanya, dialog dan tuturnya pun disampaikan Eddie Cahyono tanpa terkesan
“ditambal”, tidak ada drama yang dibuat-buat atau emosi yang
dilebih-lebihkan. Makanya saya seperti tidak diseret-seret paksa untuk
peduli pada nasib malang yang menimpa Siti, sebaliknya dibuat perlahan-lahan menghampiri. Opening-nya
langsung mempertontonkan kesederhanaan itu, dibalik guyonan, interaksi
Bagas dan Ibunya terasa begitu hangat, bak sinar matahari pagi. Bagas
berlarian sambil telanjang, dia tak mau mandi, tak mau sekolah karena
takut hantu, Siti kemudian mengejarnya. Adegan tersebut tidak hanya
hadir sebagai pemancing tawa tetapi juga menciptakan suasana hangat yang
amat menyenangkan. Interaksi-interaksi macam inilah yang kemudian jadi
semacam jembatan yang mempermudah saya untuk lebih terasa akrab dengan
Siti dan orang-orang di sekelilingnya, disamping kejujuran Eddie Cahyono
saat memotret kehidupan yang jadi daya pikat Siti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar