Saya
tidak menyangkal kemiripan antara Nay dengan Locke (Steven
Knight, 2013) yang dilakonkan dengan sangat cemerlang oleh Tom Hardy
tersebut. Tapi akan tidak adil rasanya jika kata-kata menyontek itu
hanya bersumber pada sebuah trailer berdurasi
2 menit, atau lebih dungunya lagi kalau ikut-ikut menuduh
bilang plagiat,
padahal belum nonton kedua filmnya. Saya tak perlu heran, toh poster
film Indonesia yang ada gambar pemainnya ngadep sama
persis dengan posterHollywood,
langsung begitu gampangnya diteriaki nyontek. Djenar
Maesa Ayu itu penulis, dia tahunyontek itu
haram. Lagipula yang disebut orisinil malah belum tentu se-orisinil
itu. Steven Knight mungkin juga “nyontek” dan memperoleh idenya
dari film lain yang sedang dia tonton, siapa tahu kan. Ya, terlepas
dari mirip, termasuk hadirnya monolog dan setting yang
memanfaatkan mobil, Djenar setidaknya sanggup memodifikasi Nay jadi
suguhan yang berbeda. Ada rasa yang jelas tak sama ketika saya ikut
menumpang duduk di mobil BMW X5-nya Ivan Locke dengan Mini Cooper
berwarna kuning yang disetiri oleh Nay.
Saya
orang yang tak pandai cari-cari kesalahan dalam sebuah film, apalagi
ketika Nay sanggup
membuai dan sibuk mengajak penontonnya berkontemplasi selama 80 menit
durasinya, selama kita berada di kursi belakang, sambil mengamati
luar jendela mobil. Ada pengemis meminta-minta sedekah untuk makan.
Ada gedung-gedung yang berlomba menyentuh langit. Ada barisan mobil
mengantri panjang. Ada jajanan pinggir jalan yang menggoda. Ada dua
perempuan yang marah. Ada Jakarta yang terasa amat puitis. Kemana
Jakarta yang saya kenal? Jalanan Jakarta yang barbar itu?
Film Nay seperti
menyembunyikan wajah barbarnya, mengganti wajahnya yang dekil
semrawut jadi terkesan mendamaikan. Bahkan jalan Gatot Subroto yang
brutal, yang biasanya penuh pengendara berwajah merah, bermata murka,
siap memaki berteriak “anjing!” apabila
jalurnya terpotong, malam itu di film Naytergambar
berbeda. Walaupun masih diperlihatkan deretan mobil yang berjajar
“parkir” membentuk garis agak tak beraturan, jalanan Jakarta
terkesan lebih ramah, menenangkan, berhias cahaya lampu lalu lintas
dan penerang jalan.
Djenar
tidak hanya mengajak saya jalan-jalan melihat Jakarta, menemani Nay
di balik kemudi—sedangkan saya anteng di kursi belakang
mendengarkan coleteh dan amukannya, tapi juga memberikan saya sebuah
pengalaman yang berharga, dari jalan-jalan yang setiap jengkalnya
penuh makna. Dari tujuan awal ke rumah Ben, untuk mendiskusikan soal
masa depan janin yang sekarang menghuni perut Nay, sampai napak tilas
yang nantinya membuka lembar demi lembar masa
lalu kelam Nay, perjalanan ini benar-benar membuat saya tak lagi
tergoda untuk lihat ke luar jendela, menikmati lembutnya malam
Jakarta, tapi justru tertunduk diam menatap ke dalam batin, merenung.
Orang di kursi belakang itu sekarang bukan lagi hanya pengamat dan
pendengar, tapi nimbrung diajak
berdialog. Walau Nay tak pernah sekalipun menengok ke belakang atau
mengintip spion tengah, walau saya dengan Nay tak pernah bertatap
langsung, film ini serasa menyeret saya ke dalam obrolan. Tanpa
sadar, saya sesekali mencoba menenangkan Nay, “Tenang
dong Nay”, sesama
manusia yang gampang ngamuk,
saya tahu itu percuma
Perjalanan Nay terbingkai
dengan sinematografi nan elok, membuat mata terasa adem, selagi emosi
terguncang. Ipung Rachmat Syaiful di balik kameranya sudah melakukan
pekerjaannya dengan sangat jempolan, tidak hanya
menyulap chaos-nya jalanan
Jakarta jadi terkesan puitis, tetapi juga mampu
menghadirkan mood yang
tepat dalam tiap adegan, yang pada akhirnya membuat saya begitu
nyaman mendampingi monolog Nay. Memilih Sha Ine Febriyanti sebagai
Nay pun adalah langkah yang begitu tepat, olehnya, karakter Nay tak
hanya jadi memiliki nyawa, monolognya pun hidup dan tampil memikat.
Hadirkan performa akting berkelas, Sha Ine Febriyanti menjelma jadi
karakter yang tahu bagaimana mengajak saya ikut berinteraksi, larut
semakin dalam kala konflik dan emosi makin memuncak. Diantara tawa
dan letupan amarah, Sha Ine Febriyanti dan Djenar berkolaborasi
menciptakan karakter yang membuat saya peduli dan ingin makin
mengenalnya di sepanjang perjalanan Nay. Saya
ikut marah, saya ikut sesak, saya ikut senyum, malam itu saya
mendapat teman ngobrol yang asyik bernama Nay, walaupun tak pernah
bertatap langsung. Terima kasih buat jalan-jalannya, Nay, terima
kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar