Entri yang Diunggulkan

Target Pajak 2019 Jangan Sampai Menyengsarakan Rakyat

RMOL.  Menteri Keuangan Sri Mulyani memasang target penerimaan pajak pada Rancangan APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun. Menurut anggot...

Minggu, 20 Desember 2015

Review Bulan terbelah Dilangit Amerika



Setelah mendapatkan sebuah kiriman email video seorang gadis berjudul “Do you know my Dad?” Hanum (Acha Septriasa) yang telah berhijab, dan bekerja di sebuah kantor berita di Wina, diberi tugas untuk menulis artikel provokatif oleh kepala redaksinya, berjudul “Apakah dunia lebih baik tanpa Islam?” Hanum tak kuasa menolak tugas wawancara keluarga korban tragedi 11 September di New York, Azima Hussein (Rianti Cartwright), seorang mualaf yang bekerja di sebuah museum, yang mengetahui banyak tentang Islam dan sejarahnya, dan anaknya, Sarah Hussein (Hailey Franco).
Pada saat yang bersamaan, Rangga (Abimana Aryasatya) suaminya juga ditugasi oleh profesornya untuk mewawancara seorang miliuner dan philantropi Amerika,Phillipus Brown, demi melengkapi persyaratan S3-nya. Brown dikenal sangat misterius, dan tidak mudah berbicara dengan media sejak 2001. Rangga diminta untuk menemui Stefan (Nino Fernandez) dan kekasihnya Jasmine (Hannah Al Rashid) yang berada di New York yang telah mengatur pertemuan eksklusif dengan Brown.
Rangga dan Hanum akhirnya berangkat ke New York. Keduanya mengalami tarik ulur kepentingan, yang mengakibatkan segalanya menjadi runyam. Ditambah lagi, demonstrasi besar-besaran menentang masjid Ground Zero New York berakhir ricuh. Hanum dan Rangga terpisah di jagad New York yang penuh dengan hingar bingar manusia.



Mungkinkah Hanum dan Rangga bertemu kembali? Berhasilkah mereka menyelesaikan tugas? Apa jawaban artikel Hanum dari seluruh perjalanannya di Amerika?
Film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang diadaptasi dari novel berjudul sama akan tayang pada 17 Desember 2015. (santika/dakwatuna)

Review Film Single Raditya dika

Kali ini mau sedikit bahas film Raditya Dika yang baru saja rilis, di bulan Desember 2015 ini. Gue mau cerita sedikit gimana gue bisa sampai nonton film Single ini pada tanggal 18 Desember 2015. Gue magang di Hotel Grand Aston Jogjakarta, dan gue tahu kalau besok gue libur. Dan gue pengen menikmati libur gue ini, you know lah magang di bagian House Keeping hotel bintang 5 gimana beratnya. Kamarnya gede-gede coooiii. Sore hari, pas di parkiran Grand Aston Jogjakarta. Gue menemukan ide untuk nonton film pada malam harinya. Gue bikin PM di BBM, nyari teman buat diajak nonton. Iyalah nyari teman, kan gue LDR sama pacar gue #Sedih **tiba-tiba lagu Hello Adelle ngeplay sendiri**



Adegan pertama di dalam mobil, ada Raditya Dika, Pandji, sama Babe Cabita. Seru banget mereka mau ngedate, tapi numpang, dan si Pandji mau benerin PS’nya yang rusak. Raditya Dika itu orangnya nggak PD, kalau ngomong sama cewek susah, si Pandji sok tau banget, dan si Babe Cabita orangnya penakut sama hal-hal ghaib. Di film SINGLE ini, Raditya Dika berperan sebagai EBI. Yak, aneh banget, kayak nama udang. Bukan, bang Raditya Dika di film ini bukan jadi udang, tapi tetep jadi manusia kok. Terus, sekian lama bercanda di dalam mobil, akhirnya si EBI ini, sampai di restaurant, untuk menemui si Vina teman SMA si EBI dulu. Ada joke yang bikin 1 theater ketawa, yaitu saat soup pesanan datang, terus si EBI nyelupin tangannya sambil bilang “restaurantnya keren ya vin, kobokan aja ada wortelnya” asli parah banget, terus si Vina jawab “itu bukan kobokan bi, itu soup”.
Dan di adegan di dalam restaurant ini sedih banget, karena si Vina yang di taksir Ebi sejak SMA mengundang EBI (Raditya Dika) hanya untuk ngasih surat undangan resepsi pernikahan Vina. Booommmm!!!! Dan restaurant itu adalah milik suami Vina. Dan EBI pun sedih, dia pulang ke kost sambil menyanyi lagu Geisha –  Sementara Sendiri di dalam mobil, asli ini sedihnya dapat banget. Gue jujur bisa ngerasain sedihnya di kasih undangan resepsi sama orang yang kita suka.
Ebi sangat amat menderita dengan keJombloannya (SINGLE). Dia ingin sekali mendapatkan cewek yang dia suka, namun selalu gagal di tengah jalan. Cerita di Film terbaru Raditya Dika ini gue kasih nilai 8 dari 10.
Tapi, untuk pengambilan gambarnya, baru kali ini, gue liat film Indonesia dengan pengambilan gambar yang TERBAIK. Sumpah! Keren banget ini. Gue kasih nilai 9 dari 10 !! Untuk pengambilan gambar di Film Single Raditya Dika ini. Tapi, kekurangannya adalah, menurut gue banyak pengambilan gambar dari Film Single Raditya Dika yang mirip sama Film Fast & Furious. Yang mirip adalah, menurut gue lho ya.
1. Saat adegan mobil Raditya Dika sama mobilnya si joe (chandraliow) bersebelahan. Dan Raditya Dika sama si Chandraliow saling menatap.
2. Saat adegan mobilnya di Ebi (Raditya Dika) terbang karena balapan dengan mobil Joe (Chandraliow).
3. Saat mobil rombongan tiba di Pulau Bali untuk menghadiri pernikahan adiknya si Ebi.
Tapi, meskipun mirip, gue tetep ngasih nilai tinggi buat pengambilan gambar di Film Single Raditya Dika ini.
Kalian WAJIB nonton Film Single Raditya Dika ini karena rekomendasi banget filmnya. Segar, cocok untuk kalian yang ingin melepas penat dengan tertawa.

Senin, 14 Desember 2015

Review siapa diatas presiden ?? (2014)

“Kita membicarakan kenyataaan dalam dunia fantasi”, sepenggal lirik dari lagu ‘Koil’ tersebut seperti menggambarkan apa yang sedang dibicarakan oleh “2014” yang penyutradarannya dikerjakan oleh Rahabi Mandra berduet dengan Hanung Bramantyo. Diciptakan dari hasil karangan Rahabi dan Ben Sihombing (Senggol Bacok), “2014” seperti mengajak kita ke sebuah dunia fantasi berisikan kesatria, putri dan…bukan, bukan bintang jatuh tetapi raksasa jahat rakus kekuasaan yang ingin mengusai negeri yang mirip sekali dengan Indonesia. Sebuah negeri carut-marut yang dipenuhi perampok-perampok intelek dan dihuni oleh para politikus yang bertuhankan jabatan dan berkiblatkan harta. Negeri dimana hakimnya bisa ditukar dengan seikat uang dan keadilan diperjual-belikan layaknya ikan asin di pasar. Negeri yang DPR-nya tak lagi diartikan sebagai “wakil-nya rakyat”, tetapi “Dewan Persetan dengan Rakyat”. Negeri yang memahkotai para penjahat serta memuliakan para pencuri uang rakyat. Negeri yang memelihara para pembunuh dan juga para penjagal berpangkat jenderal. Negeri yang dibicarakan oleh “2014” seperti cerminan kenyataan negeri aslinya, yang sama-sama porak-poranda dan kacau karena ulah para “raksasa” yang berebut tahta.
Demi menyelamatkan sang Ayah dari vonis hukuman mati, Ricky Bagaskoro tak punya pilihan lain selain melawan para “raksasa” yang sudah menjebak Ayahnya hingga masuk jeruji besi karena sangkaan menjadi pembunuh. Tidak mudah bagi Ricky untuk menjadi seorang kesatria, para raksasa tentu tidak akan diam saja, mereka mengirimkan pembunuh untuk menghentikan aksi Ricky mencari bukti-bukti yang bakal membebaskan Ayahnya. Dibantu seorang putri bernama Laras, keduanya mesti berjibaku dengan orang-orang jahat kiriman para raksasa, yang tak segan-segan untuk membunuh. Di negeri yang hukumnya dapat direkayasa, keadilan bisa dibeli, orang baik bisa dituduh jahat dan orang yang bersalah dapat bebas seenaknya, “2014” sedang bicara kenyataan yang terjadi di negeri fantasi buatannya. Realita yang sebetulnya juga terjadi di Indonesia, apa yang terjadi di “2014” nantinya begitu relevan dengan apa yang pernah dan sedang dialami oleh negeri ini. Dibungkus dengan tema political-thriller dengan tujuannya menghibur bukan untuk menghakimi siapapun, “2014” tak disangka mampu hadirkan intrik yang menegangkan, sambil nantinya juga memberikan kita sebuah jalinan cerita dengan presentasi yang membuat kita pada akhirnya peduli.
Tak terbantahkan “2014” memang mengadaptasi situasi dan kondisi Indonesia—terutama sistem politiknya—hanya saja demi tujuannya untuk menghibur serta bermain aman, film ini memilih jalan fiksi untuk membeberkan ceritanya. Pilihan tersebut kemudian membuat “2014” lebih leluasa menambahkan banyak hal ke dalam filmnya, bermain-main dengan cerita sekaligus karakter-karakternya. Tak dibatasi apapun bukan berarti film ini bebas bergerak asal kesana dan kemari, di awal plot utamanya sudah jelas dan tinggal bagaimana Rahabi dan Hanung setia dalam mengesekusi plot tersebut, agar tidak terkesan belak-belok kemana-mana. Terlepas ada bagian-bagian yang diburu-buru dan dipaksakan, termasuk ketika kita nanti sampai di ending, saya akui Rahabi dan Hanung mengerjakan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan cerita, sambil membumbuinya dengan intrik, drama dan juga gelaran aksi yang diluar ekspektasi ternyata seru. Sempat tunda tayang tahun lalu karena bermacam alasan, termasuk alasan takut berbenturan dengan situasi politik yang sedang panas-panasnya oleh pemilihan Presiden, film “2014” setidaknya berani maju mengusung tema political-thriller yang tak populer dan langka di sinema negeri ini.

review Film Hijab


Beberapa tahun belakangan, Hanung Bramantyo memang kerap identik dengan film-film berstatus kontroversial, “Perempuan Berkalung Sorban” dituding film menyesatkan, “Sang Pencerah” katanya menyimpang dari sejarah, “Tanda Tanya” bahkan dilabeli film haram, lalu “Soekarno: Indonesia Merdeka” berujung kisruh dengan Rachmawati Soekarno Putri, dan terakhir “Gending Sriwijaya” pun lagi-lagi berbuah protes karena tak mirip sejarah aslinya. Terlepas dari kontroversi dan segala macam pertentangan terhadap film-film Hanung, judul-judul tersebut sebetulnya tak seburuk pemberitaannya.Tapi jika boleh jujur, saya lebih kangen dengan film-film ringannya Hanung, bukan berarti “Sang Pencerah” tidak bagus atau “Perempuan Berkalung Sorban” jelek, bagus kok dan digarap sangat serius, saya akui itu. Mengubek-ngubek lagi jejak rekam Hanung, saya menemukan satu film yang rasa-rasanya tak perlu embel-embel kontroversial untuk bisa dikenang terus, film itu adalah “Catatan Akhir Sekolah”, film ringan yang saya maksud tadi. Yah, Hanung memang membuat beberapa film ringan lain, macam “Get Married” atau “Perahu Kertas” yang dibelah dua part itu, tapi yang bicara soal sahabatan, “Catatan Akhir Sekolah” bisa dibilang tak tergantikan—satu lagi “Jomblo”.
Jika “Catatan Akhir Sekolah” ngomongin persahabatan level anak sekolahan dan “Jomblo” menyorot persahabatan tingkat anak kuliahan. “Hijab” membawa tema friendship ke level yang benar-benar baru, Hanung kali ini bicara soal sahabatan di ruang lingkup mereka yang sudah berumah-tangga, lebih tepatnya dari point of view-nya para istri. Di “Hijab” kita akan diajak berkenalan dengan Bia (Carissa Puteri), Tata (Tika Bravani), Sari (Zaskia Adya Mecca) dan Anin (Natasha Rizky), empat cewek yang sahabatan sudah lama, semua sudah menikah kecuali si Anin yang masih mau hidup bebas dan mandiri, tidak seperti ketiga sahabatnya yang setelah bersuami malah justru “terjebak” dalam pernikahan, tidak bisa apa-apa, tidak bisa jadi diri mereka sendiri dan hanya bisa ngangguk apa kata suaminya. Suatu hari keempatnya memutuskan untuk membuka toko hijab online, karena ingin lepas dari label “ikut suami” sekaligus punya penghasilan sendiri. Berbekal skill masing-masing, termasuk Bia yang jago mendesain pakaian, usaha berjualan hijab yang dilakukan secara bergerilya memanfaatkaninternet dan media sosial tersebut, ternyata mendapat respon sangat positif. Bisnisnya sukses dan koleksi hijab mereka kebanjiran pembeli, tapi kesuksesan tersebut tak sepadan dengan apa yang mereka korbankan, yang nantinya balik meminta pertanggung-jawaban dan “kerusakan” harus dibayar mahal oleh Sari dan kawan-kawan.

Soal jago ngulik film yang menyangkut persahabatan, Hanung adalah orangnya, “Hijab” jadi bukti yang menekankan kembali pernyataan saya tersebut. Film ini menghadirkan rasa yang begitu saya kenali, rasa yang dulu saya rasakan ketika duduk di kelas mengamati persahabatan Agni, Arian dan Alde. Kehangatan dari sebuah persahabatan, rasa yang juga hadir saat saya duduk di kantin kampus, makan mie ayam ditemani teh botol dingin, sambil mengamati Agus, Doni, Bimo dan Olip dari jauh. Di “Hijab” saya merasakan kehangatan itu lagi, bukan hangat yang bentar hilang lalu kemudian muncul sembarangan, persahabatan Tata, Sari, Bia dan Anin sejak awal memang hangat hingga durasinya nanti habis. Dan entah bagaimana caranya, Hanung sanggup meracik chemistry dengan begitu halus dan dengan takaran yang pas. Hasilnya kita seperti melihat empat orang sahabatan bukan karena paksaan akting dan skenario, tapi Carissa Puteri dan kawan-kawan tampak layaknya empat orang sahabat yang betulan sahabatan. Untuk film yang ingin menonjolkan sebuah cerita persahabatan, “Hijab” mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan nilai sempurna, film ini membuat kita peduli dulu dengan Bia dan sahabatnya, kita peduli dengan tulus pada persahabatan mereka.
Seperti sebuah pergelaran busana yang di-organize dengan sangat baik, “Hijab” pun melenggang mulus sepanjang durasinya. Sukses memamerkan cerita yang terjahit rapih, dengan tambahan pernak-pernik konflik yang tak terkesan cheap. “Hijab” memang tampil bercanda, tapi dalam setiap candaannya terselip pesan-pesan bernada nyinyir. Walau bagaimanapun ada label bertuliskan “ini filmnya Hanung”, lumrah jika pada akhirnya “Hijab” pun berkeinginan untuk “menyentil” dan “menyindir”, tapi kali ini Hanung sadar betul batasannya, dia masih mampu mengerem nyinyirannya untuk tak terlalu eksplisit dalam penyampaiannya. Jadi kita masih bisa melihat “Hijab” layaknya sebuah acara ketemuan sahabat dengan obrolan santainya, sesekali nyinyir-nyinyir ringan sambil bersenda-gurau. Film ini akhirnya bisa ditertawakan tanpa harus memaksa kita mengernyitkan kening. Dibalut komedi satir yang menyegarkan, “Hijab” tahu menyetel timing yang pas untuk melempar kelucuannya pada saat yang tepat, dan kebanyakan bersumber dari tektokan dialog bermuatan humor yang cukup cerdas. “Hijab” tak saja bikin saya ngakak senang, well, ketika tiba waktu untuk serius, mood film pun berubah 180 derajat, dari tertawa kita bisa tiba-tiba diam, dari adegan ngebanyol penuh guyonan jadi adegan sendu menyentuh kalbu. Dibuka dengan amat menjanjikan, “Hijab” kemudian tidak saja meninggalkan rasa menyenangkan, tapi juga catatan tambahan bertuliskan “terima kasih” pada Hanung, yang sudah sudi balik bikin film ringan tentang persahabatan.

Review film Azrax


Lupakan Mad Dog di “The Raid”, kita memiliki jagoan baru yang level badass-nya 99 kali lipat—Chuck Norris tinggal sentil tidak apa-apanya—namanya AA Azrax, dan kita bisa lihat aksinya di film “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” yang merupakan debut AA Azrax menghajar ketidakadilan. Judulnya semestinya bisa lebih panjang lagi jika AA Azrax mau, “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita Dari Jakarta Sampai Hong Kong” misalnya. Film AA Azrax terbilang yang tiba-tiba muncul, saya tak pernah menyangka jika AA main di sebuah film action, kaget sudah pasti, lebih mengagetkan ketimbang berita Ben Affleck jadi Batman, yang tampaknya adalah sebuah pengalihan isu agar orang-orang melupakan film terpenting di 2013 tersebut. Setelah poster artistiknya rilis, yang mempertegas jika film ini lebih “laki” ketimbang dua film “Expendables”-nya Sylvester Stallone, belum lagi gambar besar menampilkan AA Azrax bermodel rambut gondrong ala rocker pasundan, itu sudah lebih dari cukup jadi alasan saya untuk tak lewatkan film ini di bioskop, jika tidak mau menyesal dunia dan akhirat. Apalagi hype-nya di sosial media begitu tidak wajar, entah siapa dalangnya, tapi film AA Azrax jadi sangat fenomenal di twitter, banyak orang yang menanti-nantikan aksi AA Azrax di layar lebar, termasuk saya yang sudah bosan dicekoki film Indonesia yang itu-itu aja, kalau tidak cinta-cinta-an basi yah horor idiot. Saya butuh film berbeda, untunglah AA Azrax menjawab kegelisahan saya, dengan menghadirkan film laga yang tak hanya mengobral action tapi juga diboncengi banyak pesan moral.
Dari trailer, saya bisa melihat “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” tak masuk kriteria film-film kacrut, melainkan film yang serius dibuat untuk menjadi hiburan, sekaligus mengajarkan kebaikan kepada penontonnya, termasuk salah-satunya adalah ucapkan salam kepada siapapun yang kita temui, mau penjahat sekalipun. AA Azrax mau berantem bilang “Assalamualaikum”, sosok jagoan yang jarang diperlihatkan di film laga kita, tidak saja jago bag-big-bug tapi juga soleh, tidak pernah lupa sembahyang dan selalu ingat Tuhan. Selain itu, AA Azrax juga seorang penakluk wanita, dari perawan-perawan kampung sampai pramugari pesawat yang dia tumpangi sewaktu menuju ke Hong Kong. Puja-puji mengalir deras begitu saya melihat karakter AA Azrax yang tak pernah gentar oleh apapun dan selalu terlihat santai dalam menghadapi setiap masalah. Ketika semua orang gelisah, marah-marah, bingung melawan sindikat perdagangan wanita, AA Azrax terlihat begitu santai, tak pernah berhenti mengingatkan orang-orang di sekitar untuk terus berdoa kepada Tuhan. Subhanallah, AA Azrax ini, karakter yang bisa dibilang sempurna, seorang guru ngaji dan dermawan di kampung, yang digilai oleh para wanita lalu kemudian terbang ke Hong Kong, mengobrak-abrik sarang penyamun penjual wanita-wanita Indonesia untuk dijadikan pelacur disana. AA Azrax tak pernah kenal pamrih, tak pernah meminta bayaran sepeser pun, akan menolong siapapun yang perlu pertolongannya. Kalau ada yang mau berterima kasih, AA Azrax tak akan mau menerima uang, cukup dimasakin ikan bakar dan opor jantung pisang, dia sudah senang, apalagi jika dikupasin pisang. Mau gagah, kuat dan tak pernah kalah seperti AA Azrax, banyak-banyaklah makan pisang.
Edan pisanlah pokonamah “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita”, saya bisa bilang terlalu banyak ke-epix-an hanya dalam satu film saja, berbagi ruang dengan pesan moralnya yang dijejali tanpa berusaha ingin memaksa penonton untuk jadi baik setelah keluar bioskop. Tak perlulah banyak-banyak pesan moral, melihat tampang AA Azrax yang karismatik itu saja sudah bikin hati saya luluh, ingat dosa, ingat Tuhan dan segera mau tobat. Jika film semacam “Evil Dead” tak sah jika tanpa respon sumpah-serapah-anjing-taik-banget-ngehe dimana-mana, “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” sebaliknya, di setiap adegan tak ada hentinya saya ngucap “Astaghfirulloh”. Banyak “nyebut” supaya tetap ingat Tuhan, ngeri juga kalau pulang tiba-tiba mau pindah agama, saking terpesonanya dengan AA Azrax dan mau buat berhala tinggi 4-5 meteran untuk disembah di rumah. “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” adalah film yang tak saja jadi sebuah hiburan tapi juga panduan hidup, terlepas dari banyaknya kebaikan yang bisa kita ambil dan resapi dari film berdurasi 108 menit ini (buat saya mah kurang, filmnya harusnya dibuat sampai 4 jam), level epix-nya benar-benar telah sukses menggeser film-film action yang pernah saya tonton selama ini. Lupakan sekuel “Serbuan Maut”, kita butuh serbuan sekuel-sekuel Azrax, tinggal pilih mau melawan siapa lagi, dari sindikat maling beha sampai gembong narkoba, setiap bulan harusnya AA Azrax merilis filmnya. 

Minggu, 06 Desember 2015

review Film SITI



Siti sebetulnya sudah beredar sedari tahun 2014 silam, tapi karya terbaru Eddie Cahyono ini memang tak rilis secara luas, berbeda dengan Cewek Saweran yang sempat nangkring di bioskop, walaupun umurnya tidak panjang alias cepat turun layar. Setelah Siti berkeliling festival dalam dan luar negeri, termasuk Singapore International Film Festival dan Jogja-Netpac Asian Film Festival, penayangannya pun terbatas hanya di bioskop-bioskop alternatif dan ruang-ruang screening saja. Beberapa kali melewatkan pemutaran Siti, saya akhirnya “berjodoh” saat filmnya diputar oleh Festival Film Indonesia, berbarengan dengan keempat film lain yang terpilih di daftar nominasi film terbaik, termasuk Mencari Hilal dan Toba Dreams. Bisa menonton Siti yang selama ini ditunggu-tunggu saja sebetulnya jadi sumber kegembiraan untuk saya, ketika dapat menyaksikan dalam format layar lebar, ini adalah sebuah pengalaman langka. Apalagi Siti nantinya ditampilkan hitam putih dengan aspect ratio 1:33:1, seperti yang disuguhkan oleh Michel Hazanavicius di The Artist, dan film Polandia berjudul singkat Ida garapan PaweÅ‚ Pawlikowski.

Terpicu oleh keadaan perekonomian yang sulit-melilit, ditambah suaminya yang tidak lagi bekerja karena lumpuh dan tanggungan hutang beli kapal, Siti terpaksa harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Siangnya panas-panasan jualan peyek jingking di Parangtritis dan malam hari menjadi pemandu karaoke, menemani tamu-tamu bernyanyi. Di balik tawa dan senyum, di tengah kesibukan mengurusi rumah, anak dan suaminya, Siti ternyata menyimpan pedih dan menyembunyikan rasa frustasinya. Semua memuncak ketika tempatnya cari uang malah digerebek oleh polisi, tidak mungkin hanya mengandalkan hasil dari jualan peyek yang sepi pembeli, sedangkan uang untuk membayar hutang belum terkumpul. Eddie Cahyono memang tak akan langsung memperlihatkan tekanan batin yang dirasakan oleh Siti, filmnya seakan ingin rasa kesal, bimbang dan sakit hati tersebut untuk bersembunyi sejenak. Alih-alih memberikan penonton visual yang terasa depresif, Siti justru mengajak guyon, terutama bersumber dari dialog Bintang Timur Widodo yang memerankan Bagas—anak Siti—termasuk saat dia bercerita tentang sosok hantu menyeramkan yang mengganggunya di sekolah.

Tiap adegan di Siti digulirkan begitu sederhana, dari gambar sampai ke obrolan-obrolan yang nantinya mengisi, memenuhi 90-an menit durasinya, menampilkan karakter-karakter yang membumi dan juga manusiawi. Seperti setting-nya yang apa adanya, dialog dan tuturnya pun disampaikan Eddie Cahyono tanpa terkesan “ditambal”, tidak ada drama yang dibuat-buat atau emosi yang dilebih-lebihkan. Makanya saya seperti tidak diseret-seret paksa untuk peduli pada nasib malang yang menimpa Siti, sebaliknya dibuat perlahan-lahan menghampiri. Opening-nya langsung mempertontonkan kesederhanaan itu, dibalik guyonan, interaksi Bagas dan Ibunya terasa begitu hangat, bak sinar matahari pagi. Bagas berlarian sambil telanjang, dia tak mau mandi, tak mau sekolah karena takut hantu, Siti kemudian mengejarnya. Adegan tersebut tidak hanya hadir sebagai pemancing tawa tetapi juga menciptakan suasana hangat yang amat menyenangkan. Interaksi-interaksi macam inilah yang kemudian jadi semacam jembatan yang mempermudah saya untuk lebih terasa akrab dengan Siti dan orang-orang di sekelilingnya, disamping kejujuran Eddie Cahyono saat memotret kehidupan yang jadi daya pikat Siti.

Review Anak Kos Dodol

Cerita dalam film Anak Kos Dodol ini merupakan hasil adaptasi novel laris karya Dewi “Dedew” Rieka yang berjudul sama. Film yang disutradarai oleh Eman Pradipta dan diproduksi oleh rumah produksi RK23 Pictures ini mengisahkan tentang geng cewek yang dipertemukan oleh takdir dalam sebuah rumah kos khusus putri di salah satu daerah di Yogyakarta. Ceritanya sendiri diawali dengan kedatangan tiga orang cewek dari luar kota yang baru saja lulus SMA.

Ketiga cewek yang akan nge-kos di lokasi tersebut bernama Sarah, Sofia, dan Dewi alias Dedew. Mereka bertiga menjadi pelengkap bagi geng para penghuni kos-kosan dodol yang telah lebih dulu tinggal di sana, seperti Julia, Sasha, Anti, Tere, Elsha, Ugi, dan juga para senior mereka, yakni Mbak Nunu yang galak dan Mbak Laslie yang bijak. Kehadiran penghuni baru itu ternyata tidak bisa dengan mudah untuk menyatukan mereka dengan para penghuni lama.

Meski sempat terpecah menjadi dua kubu, namun pada akhirnya mereka bisa juga bersatu dan merasakan persaudaraan. Rasa persahabatan dan kebersamaan yang muncul di tengah-tengah mereka berhasil mengalahkan semua perbedaan. Mereka pun menjalani kehidupan dengan saling menjaga dan saling menguatkan ketika masalah datang satu per satu. Kekompakan geng kos dodol yang telah legendaris ini mampu menghadapi semua malasah yang selalu muncul.

Hari-hari kuliah di perantauan yang sangat melelahkan malah jadi terasa meriah dan penuh warna. Para cewek cantik dan pemberani itu pun menemukan tiga babak paling berkesan dalam kehidupan mereka. Yakni, saat mereka merasakan kebebasan dalam hidupnya, lalu menemukan cinta dalam perjalanannya, dan kemudian menyadari arti kebebasan yang sebenarnya sebagai sebuah titipan amanah dan tanggung jawab. Mereka harus menjalani setiap tahap itu bersama.

Sesuai dengan judulnya, film ini menampilkan beragam kejadian di kos-kosan, mulai dari yang seru, lucu hingga konflik karena kehidupan yang terlalu bebas di lingkungan baru. Itulah yang dirasakan oleh Sarah, Sofia, dan Dedew. Lalu, dimana peran Pongki Barata dan Naga “Lyla”? Pongki ternyata berperan sebagai bapak penjaga kos-kosan dimana ketiga cewek tersebut tinggal. Berbagai kejadian lucu mengiringi hidupnya sebagai penjaga kos-kosan khusus putri.

Sabtu, 05 Desember 2015

Ngenes (trailer review)



Film NGENEST menceritakan Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) tidak pernah memilih bagaimana ia dilahirkan. Tapi nasib menentukan, ia terlahir di sebuah keluarga Cina. Tumbuh besar di masa Orde Baru dimana diskriminasi terhadap etnis Cina masih begitu kental. Bullying menjadi makanan sehari-hari. Ia pun berupaya untuk berbaur dengan teman-teman pribuminya, meski ditentang oleh sahabat karibnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Sayangnya berbagai upaya yang ia lakukan tidak juga berhasil, hingga Ernest sampai pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk bisa membaur dengan sempurna adalah dengan menikahi seorangperempuan pribumi.

Simak saja salah satu dialog lucu di film ini:
“Cung, loe mau ke mana?”
“Aku mau ke kelas 1 B”
“Loe khan di kelas 1 C, Cina!”
Karena dikira kaya, Ernest selalu dipalak oleh teman- teman sekolah dan diminta mentraktir jajan mereka. Ia kapok selalu dibully sehingga bertekad mendapatkan isteri pribumi agar anaknya tidak bernasib sama.
Ketika kuliah di Bandung, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela). Meski melalui tentangan dari Papa Meira (Budi Dalton), tapi akhirnya mereka berpacaran. Dan kemudian menikah, dengan adat Cina demi membahagiakan Papa dan Mama Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya)
Berhasil menikah dengan perempuan pribumi ternyata tidak menyelesaikan pergumulan Ernest. Ia mulai dirundung ketakutan, bagaimana jika kelak anaknya terlahir dengan penampilan fisik persis dirinya? Lalu harus mengalami derita bullying persis dirinya? Ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda untuk memiliki anak. 

Review AYu Anak Titipan surga





Ayu, seorang anak perempuan yang usia 9 tahun. Ia ditinggalkan Ayahnya meninggal dunia karena sakit komplikasi. Meski begitu, ia menunjukan sifat yang jarang dimiliki anak-anak seusianya. Sifatnya menjadi contoh bagi anak-anak yang lain. Kecerdasan dan kejujurannya, bisa menjadi pelipur lara dan kepercayaan bagi keluarga yang sedang dalam tekanan hidup yang ekonominya pas-pasan. Rasa setia kawan yang ia miliki bisa menjadi sahabat bagi semua, termasuk Pak Karta, tukang kebun miskin yang bekerja di sekolahnya. Ia juga memiliki keberanian yang jarang dimiliki anak-anak seusianya. 

Di sisi lain, ada Evi, anak orang kaya yang memiliki sifat bertolak belakang akibat kurang diperhatikan oleh orang tuanya yang sibuk. Ayah Evi sibuk memelihara kuda-kudanya yang mahal. Sedangkan ibunya, sibuk dengan kekayaan dan urusan pribadi. Latar belakang itulah yang makin menjerumuskan bocah malang itu mudah cemburu, iri hati dan sifat-sifat lainnya yang tidak terpuji. Hal itulah yang sering ditunjukan kepada Ayu di sekolahnya. 

Bagi Ayu, sifat dan sikap yang di tunjukan Evi adalah hal yang berat. Karena harus mengorbankan perasaan agar tidak terjadi keributan diantara mereka. Dituduh bersekongkol ingin memusuhi Evi dan teman-temannya, Ayu masih bisa mengatasi dan tidak terjadi keributan. Diganggu saat disekolah, Ayu juga masih bisa menahan diri. Suatu ketika “di kerjain” agar terlambat masuk sekolah, Ayu juga masih bisa bertahan dan tidak terjadi permasalahan. Bahkan difitnah dengan berbagai cara, Ayu juga masih tetap dengan sifatnya yang tidak inin membalas kejelekan sifat Evi. Tidak disangka tapi terjadi. Seorang Ayu anak SD yang belum tahu banyak hal tentang dunia kejahatan diluar sana, kini terpampang terlihat di depan mata. Ayu dan kedua sahabatnya mendapati Evi teman sekelasnya yang notabene sering membuat masalah dan memfitnahnya, kini di culik dan disekap oleh kawanan mafia perdagangan orang (trafficking). 

Entah apa itu. Ayu dan kedua sahabatnya hanya tahu bahwa ada penculikan dan penyekapan oleh kawanan penjahat. Mustahil bagi Ayu untuk bisa memahami bagaimana cara menyelamatkan Evi dan beberapa anak-anak lainnya yang rata-rata masih dibawah umur. Sebagai anak-anak biasa seusianya, Ayu dan kedua sahabatnya merasa takut yang luar biasa. Tapi naluri keberanian tetap tidak bisa terbendung untuk bisa membantu menyelamatkan sesamanya yang sedang membutuhkan pertolongan.
Evi baru menyadari bahwa kebaikan sifat Ayu ini bukan sekedar pura-pura. Dengan melalui perjuangan dan proses yang cukup panjang dan melelahkan yang di penuhi oleh resiko dengan taruhan nyawa, Ayu akhirnya terbukti mampu menyelamatkan Evi tanpa pamrih, tanpa melihat bahwa Evi adalah seorang anak yang sering menyakitinya. Ayu melepaskan Evi dari manusia-manusia jahat yang nyaris bakal mencelakakannya dan banyak korban lainnya. “Menanam kebaikan akan berbuah kebaikan, memupuk keburukan hasilnya akan berlipat keburukan”.
Keberanian Ayu mendapatkan simpati dari berbagai pihak termasuk pejabat di daerah tempat tinggalnya. Kak Seto pun sangat bangga dan menjenguk Ayu di rumah sakit, karena cedera berat saat menyelamatkan Evi dan korban lainnya.