Entri yang Diunggulkan
Target Pajak 2019 Jangan Sampai Menyengsarakan Rakyat
RMOL. Menteri Keuangan Sri Mulyani memasang target penerimaan pajak pada Rancangan APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun. Menurut anggot...
Senin, 30 November 2015
Review Film TAROT
Digadang-gadang sebagai film horor terseram di tahun 2015, Film Tarot hadir mewarnai layar lebar Indonesia, produksi dari Hitmaker Studios dan karya Jose Poernomo. Bukan kali ini aja, Jose membuat film horor bareng Hitmaker, beberapa film sebelumnya seperti Rumah Kentang, 308, hingga Rumah Gurita, telah mendulang kesuksesan. Begitu juga dengan Shandy Aulia dan Boy William yang pernah bermain di Rumah Gurita, kembali bermain disini. Apakah film ini sesuai harapan?
Trailer film ini begitu memukau. Setiap detail yang ada, scene yang seru, beberapa ketegangan dimunculkan dalam durasi yang cukup panjang, hampir tiga menit, tapi sama sekali gak bosan. Calon penonton benar-benar bisa menikmati rasa penasarannya yang datang mulai dari detik-detik awal hingga akhir trailer.
Kisah tentang seorang kembar yang akhirnya salah satu diantaranya meninggal dan menghantui saudaranya, mengingatkan kita dengan film Alone asal Thailand yang direlease tahun 2007. Tapi jangan pikir kalau Tarot memiliki cerita yang sama, no! Film Tarot memiliki kemasan cerita dan gaya penceritaan yang lengkap. Mulai dari pengenalan awal, masalah mulai muncul, emosi penonton diajak naik-turun, hingga film ini diakhiri dengan penyelesaian yang matang, bukan selesai sekedarnya.
Penonton gak cuma sekedar menonton film horor aja, tapi juga diajak untuk ikut menjadi bagian dari film. Ini terasa begitu kuat ketika konflik batin yang dialami tokoh di Film Tarot, dihadirkan dengan gaya drama yang jarang ditemui di genre horor. Drama romantis yang dihadirkan gak cuma sebagai pelengkap, tapi memang menjadi bagian untuk film yang tak dapat dipisahkan. Cerita Film Tarot memang dipikirkan secara mantab, apalagi dengan waktu penceritaan yang luas.
Gak perlu diraguin lagi, Jose Poernomo selaku Sutradara dan Penata Kamera memang hits banget hasilnya. Coloring sedikit sephia, angle, shot, teknik pegambilan, semuanya pecah abisssss. Mata penonton memang bener-bener dimanjain. Termasuk efek buat Shandy Aulia dan kembarannya, hantunya, dalam satu frame, halus banget dan sukses mengelabuhi penonton.
Editannya keren, apalagi di setiap scene penting, kayak efek pecahan kaca nembus kulit, bisa dapet feelnya. Efek slow motion juga begitu memukau. Sampai kejernihan gambar yang prima, memanjakan mata. Make up buat karakternya keren. Animasi yang dipakai seperti api terlihat hampir nyata, cuma yang kecelakaan mobil masih kurang sih.
Anto Hoed berhasil banget buat musik yang syahdu pas adegan romance dan musik tegang yang pas waktunya. Ditambah voley, sound effect, dan dubbing yang natural, membantu banget mainin mood emosi penonton. Detail yang indah buat audionya. Selain itu, Tarot juga punya "Stranger in My Bed" sebagai Original Soundtrack yang dinyanyikan Boy William. Kerennya gak cuma jadi soundtrack yang sekedar dijadiin musik ilustrasi aja, tapi lagu ini juga dijadiin "narasi monolog" didalam film, dan itu masih jarang ditemukan di film Indonesia.
Boy William (Tristan) semakin profesional berakting. Terlihat dia sangat menikmati dan nyaman melakukan setiap adegannya. Chemistry dengan Shandy Aulia juga sudah terbangun dengan kokoh. Hasilnya akting Boy, natural, mantab, dan tegas. Boy pintar untuk menyesuaikan ekpresi, mimik dan segala macemnya di setiap adegan.
Shandy Aulia (Julie & Sofia) juga semakin matang dalam berperan di kancah film horor. Apalagi disini, tantangan untuk memerankan dua peran manusia dan jadi hantu, so nice! Dia bisa berakting dengan sangat baik. Terlihat jelas, ketika dia jadi Julie, maupun saat jadi Sofia, bahkan jadi hantu sekalipun, Shandy total.
arah Wijayanto (Peramal Tarot) sebagai seorang peramal tarot juga di dunia nyata, dia bisa berakting dengan cantik. Padahal kata Sarah sendiri, Film Tarot merupakan film perdananya. Dialog yang dia mainkan juga cukup panjang dan rumit, dia juga bisa melaluinya dengan lancar dan maksimal. Pemain pembantu lainnya juga bermain bagus, gak ada yang menodai film ini dengan akting yang kurang.
Review film skakmat
Komedi action adalah tema yang diangkat oleh film ini. Mengeksplore keahlian bela diri dari Donny alamsyah yang berperan sebagai Dito dan membedah sejauh mana Tanta ginting yang berperan sebagai Jamal yang konon bisa memerankan tokoh multi karakter yang pada film ini dia berperan cukup apik memerankan tokoh pemuda betawi yang sangat mencerminkan benar-benar seorang pemuda betawi pada aslinya.
Pencarian tujuan hidup dan mempertahankan sesuatu yang kita yakini benar adalah benang merah yang sangat terlihat jelas difilm ini. Donny alamsyah yang memerankan tokoh sebagai mantan kurir narkoba yang terketuk hatinya ketika sang bos akan membuat narkoba pada makanan anak-anak dan seketika itu juga menjadi sadar dan ingin keluar dari dunia barkoba karena berfikir bagaimana jika yang menjadi korban tersebut adalah anak semata wayangnya yang tinggal bersama ibunya tercinta.
Konflik antara donny alamsyah dan gembong narkoba yang terus saja mengejarnya karena Donny bertanggung jawab atas 10 kg narkoba yang dia sembunyikan, membuat donny bertemu dengan tanta ginting yang berperan sebagai tukang ojek yang diberi order untuk mengantar donny ke tempat bos yang lain yang juga menginginkan nyawanya.
Walau proses bertemunya donny dan tanta yang melalui order ojek terkesan terlalu dipaksakan dan kurang bisa diterima penonton (terutama saya), tapi aksi donny alamsyah dalam bertarung dan akting santainya tanta yang mencerminkan pemuda betawi asli, cukup bisa mengaburkan itu semua.
Aksi laga donny alamsyah yang kita tau juga salah satu pemeran tokoh penting dalam film aksi yang membuat gempar perfilman indonesia yaitu The Raid. Membuat aksi Donny memang tidak perlu diragukan lagi, Namun aksi Donny yang bagus menjadi sedikit berkurang dikarenakan lawan-lawan dari aksi Donny terasa tidak bisa menyesuaikan gerakan dengan baik. Sehingga kita akan seringsekali melihat adegan fighting yang delay dalam menangkis, menendang dan menghindar cukup banyak terjadi. Dan ini menurut saya sangat disayangkan.
Kurang ketatnya Pemilihan figuran dalam fighting menurut saya cukup membuat film ini menjadi kurang greget karena aksi dan karakter donny alamsyah yang sudah sangat baik, menjadi berkurang persentase kesempurnaannya karena lawan fight yang tidak mumpuni.
review film TJokroaminoto sang guru bangsa
Film pada umumnya memang tidak selalu harus berpijak pada kenyataan. Namun, pada jenis dokumenter dan biopik, akan selalu ada sejarah maupun fakta yang membayang-bayangi dalam pembacaannya. Ketidakakuratan bisa menjadi kontroversi besar, seperti pernah terjadi film Soekarno: Indonesia Merdeka. Lalu, bagaimana cara merekonsiliasi antara seni membuat film dengan kenyataan dari subjek atau peristiwa yang difilmkan?
Halangan yang paling awal menghadang adalah durasi film. Dalam sebuah biopik, misalnya, tidak mungkin menghadirkan seluruh aspek kehidupan sang tokoh secara utuh ke dalam bentuk film fitur. Sang pembuat film harus dengan cermat memilih bagian mana dari kehidupan yang tokoh untuk sebagai kendaraan untuk mengeksplorasi kedalaman motivasi dan karakternya. Sayangnya, di Indonesia, tendensi untuk menjejalkan begitu banyak narasi ke dalam film biopik masih sering dilakukan. Hal ini pula yang terjadi pada film Guru Bangsa: Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto (Reza Rahardian) adalah anak dari Tjokroamiseno, seorang pamong praja yang juga keturunan bangsawan. Kakek Tjokroaminoto adalah seorang pamong praja juga, namun kakek buyutnya adalah seorang kiai (Kyai Bagoes Kasan Besari). Demikian ia mengenalkan diri pada adegan awal di penjara Kalisosok saat Belanda menangkapnya. Adegan beralih kepada Tjokro kecil (Christopher Nelwan) yang melihat seorang budak disiksa karena menumpahkan karet.
Oleh seorang kiai, Tjokro menerima petuah mengenai hijrah (pindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik) dan iqra (perintah untuk membaca). Adegan berlanjut adegan di sekolah saat ia dihukum gurunya akibat protes terhadap penjajahan Belanda. Tjokro lalu dinikahkan dengan Soeharsikin (Putri Ayudya). Setelah menjadi pegawai perkebunan, ia pindah ke Semarang untuk mencari rumusan tentang hijrah seperti apa yang akan diwujudkan bangsa ini. Ia lalu pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada surat kabar, sementara istrinya membuat batik sekaligus mengurusi rumahnya yang dijadikan kos-kosan. Kos-kosan ini, yang disebut Rumah Paneleh, dihuni oleh pemuda-pemuda yang kelak menjadi orang-orang besar Bangsa Indonesia, seperti Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), dan Soekarno (Deva Mahenra). Di sinilah Tjokro mendirikan Sarekat Islam dan menjadikannya sebuah organisasi besar.
Dengan begitu lebarnya sejarah Tjokro yang hendak diceritakan oleh Garin, mau tidak mau ia menghadirkan ansambel tokoh yang luas. Selain tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pejabat-pejabat Belanda, dihadirkan pula Stella (Chelsea Islan), anak Belanda dan pribumi yang mengalami diskriminasi. Ada juga Abdullah (Alex Abbad), pegawai Belanda yang berasal dari Yaman, serta tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah seperti Mbok Tambeng (Christine Hakim), penjual kursi kayu, hingga Bagong.
Nampaknya, durasi 2,5 jam tidaklah cukup buat film ini. Konsekuensi yang nampak adalah penggunaan shot-shot yang pendek dengan adegan-adegan yang berlompatan. Dalam beberapa dialog yang menyangkut tahun dan peristiwa sejarah dilemparkan dengan cepat sehingga terkesan seperti ada orang yang sedang membacakan buku sejarah kepada penonton. Garin tidak memberikan waktu bagi adegannya untuk menjadi kokoh terlebih dahulu, sehingga ekses informasi, cerita, dan tokoh ini ini membuat penonton masih harus mencerna beberapa adegan sebelumnya di saat adegan yang baru sudah dimunculkan di layar.
Dalam beberapa adegan lain dialognya seakan-akan dibuat profound namun sebenarnya minim penjelasan. Misalnya, nasehat yang diutarakan Ibu dari Soeharsikin (Maia Estianty) kepada putrinya, “Suamimu itu sedang mengikuti semesta”, atau dari Hasan Ali Surati (Alm. Alex Komang) kepada Tjokro bahwa “buruh adalah politik. Buruh adalah zaman.” Tidak ada pendalaman karakter maupun pendalaman adegan menyebabkan dialog-dialog seperti ini seakan hanya tampil seperti slogan atau malah out-of-character. Dengan kata lain, yang nampak dari film Tjokro hanyalah kelebaran bukan kedalaman, karena terlalu banyak yang dikatakan dan bukannya ditunjukkan.
Menghadirkan Tjokro ke Masa Sekarang
Melalui narasinya yang lebar, sang pembuat film dapat dengan leluasa menyatakan sikapnya terhadap beberapa hal. Sosok Tjokro historis lantas menjelma menjadi sosok Tjokro yang kontemporer dengan komentar-komentar yang relevan bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Dalam beberapa hal, ada kesamaan yang dilakukan Garin dalam film Tjokro dengan filmnya sebelum ini, Soegija.
Yang pertama adalah sikap mengenai isu rasialisme. Pada film Soegija, ada kisah Lingling, gadis Tionghoa yang dekat dengan Romo Soegijapranata. Di dalam Tjokro, yang hadir adalah konflik antara pedagang Tionghoa dan kaum pribumi karena hasutan Belanda. Mendamaikan mereka, Tjokro berseru “Kalau Jawa dan Tionghoa bersatu, maka subur tanah ini!” Hal yang sama hadir dalam Stella yang mengalami kebingungan identitas antara menjadi pribumi atau Belanda. Sayangnya, konflik antaretnis mendadak lenyap dan tak disinggung lagi, seakan semuanya selesai oleh kata-kata bijak Tjokro Bahkan peran etnis Tioghoa juga hilang di paruh kedua film. Bagi Stella pun tak ada jawaban, selain bahwa orang-orang seperti Stella ini akan dilindungi oleh pemerintahan yang baru, yang bukan di bawah Belanda.
Yang tampil lebih kuat justru pada sikap Tjokro mengenai perbedaan ideologi. Ketegangan antara Islam, nasionalisme, dan komunisme dalam anak-anak didiknya disikapi dengan pernyataan yang humanis, bahkan terkesan liberalis. Bagi Tjokro, pikiran-pikiran baru ini baik, dari manapun datangnya, yang lebih penting adalah bagaimana jangan sampai pikiran-pikiran ini tidak diterjemahkan dengan cara kekerasan. Berulang kali Tjokro menekankan tentang bahaya kekerasan terhadap persatuan dan persaudaraan dalam rumah (baca: bangsa) yang ia cita-citakan berhijrah ke keadaan yang lebih baik.
Ini memang bukan gambaran yang akurat tentang Tjokro historis, yang mencita-citakan pemerintahan baru oleh pribumi di bawah naungan Islam. Tjokro historis dengan lantang menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Akan tetapi, ia tidak setuju dengan sosialisme a la Bolshevik. Lewat bukunya Islam dan Sosialisme, ia menyatakan bahwa sosialisme yang benar adalah sosialisme a la Islam yang diejawantahkan oleh Nabi Muhammad dulu.
Tjokro historis juga pernah menyetujui berdirinya Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TNKM) pada Februari 1918 sebagai respons atas tulisan yang menghina Islam dalam surat kabar Djawi Hiswara. Ini tentu disonans dengan sosok Tjokro dalam film. Tjokro dalam film membiarkan saja komunisme Bolshevik Semaoen, bahkan tanpa ada kontestasi ide, hanya karena “Semaoen itu orang pintar. Pasti yang diperbuatnya ada dasarnya.” Ketidakakurasian ini mungkin bisa dipahami sebagai sarana untuk mengomentari keadaan Bangsa Indonesia sekarang, di mana tuduhan bernada rasis kepada etnis Tionghoa, tuduhan komunis, dan kekerasan sering dipakai menjadi alat politik.
Di samping itu, dilontarkan juga komentar-komentar lain tentang pendidikan, agraria, pajak, serta pentingnya koperasi bagi kesejahteraan buruh dan petani. Hal-hal tersebut sebenarnya bisa saja dikembangkan untuk memperkuat relevansi pesan film ini bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Namun, alih-alih dikuatkan sebagai kunci untuk menyelami pemikiran Tjokro dan anak-anak didiknya di kala itu, mereka hanya mampir sekilas sebagai pengisi dialog. Simak perdebatan antara kubu Agoes Salim dan kubu Semaoen mengenai mana yang harus didahulukan antara pendidikan dan agraria, contohnya. Yang nampak malah justru seperti debat kusir dengan pengulangan kata-kata namun miskin argumentasi dan elaborasi. Sungguh disayangkan, mengingat anak-anak didik Tjokro sebenarnya adalah orator-orator ulung dengan kemampuan berargumentasi yang tajam seperti yang ada dalam tulisan-tulisan mereka di koran.
Pada akhirnya, hijrah yang dikehendaki Tjokro tetap kabur hingga akhir film. Kesan yang tertinggal adalah bagaimana kita harus menaruh harapan kepada keadaan yang lebih baik – keadaan yang “sama rata, sama rasa” bagi yang kaya maupun yang miskin. Namun, dalam bentuk apakah ia mesti mewujud di masa sekarang ini? Bagaimana juga cara mencapai keadaan yang lebih baik? Apakah lewat nasionalisme yang arkaik di bawah negara? Ataukah lewat sosok pemimpin yang mesianistik, pada sosok Ratu Adil atau Satrio Piningit seperti Tjokro–seperti yang sering disematkan pada beberapa Presiden Indonesia? Rupanya kontemporerisasi sosok Tjokro juga tidak serta merta menjawab pertanyaan ini.
Secara filmis, film Tjokro tidak lebih baik dari biopik yang digarap Garin sebelumnya. Pejabat-pejabat Belanda tampil sebagai tokoh jahat yang karikatural. Bahkan kepada Belanda seperti Henk Sneevliet, yang ikut berjuang bagi Indonesia lewat parlemen Belanda dan tulisan-tulisannya dikarikaturisasi dengan dialog semacam, “Kita organisasi elit putih. Kita hanya tahu kopi dan kafe.” Beberapa adegan juga menggunakan kosa gambar yang melodramatis, seperti menangis di bawah hujan diiringi musik pengiring yang menyayat hati. Kekuatan pengadeganan dari Garin justru muncul dalam shot-shot hitam putih di Penjara Kalisosok. Dengan absennya warna dan senyapnya musik pengiring, emosi tampil menonjol lewat akting Reza Rahardian.
Sesungguhnya Garin bisa memaksimalisasi filmnya dengan menghilangkan tokoh-tokoh yang tidak terlalu sentral, seperti tokoh Bagong atau penyanyi teater. Alih-alih menceritakan panjang lebar dari kecil hingga tua, film ini bisa juga mencuplik sebagian kisah hidup Tjokro kemudian menjadikan konflik-konflik yang terjadi di masa itu sebagai basis untuk mendalami karakter dan kisahnya. Moda penceritaan dengan mencuplik seperti ini pernah dilakukan dalam biopik Tjoet Nja’ Dhien dan film-film biopik karya Oliver Stone seperti Nixon dan JFK.
Masa-masa perpecahan Sarekat Islam sebenarnya menawarkan banyak potensi cerita. Contohnya, ketika masa itu Tjokro pernah dituduh menggelapkan dana oleh Darsono. Ada juga kekecewaan banyak anggota SI karena Tjokro menjadi anggota Volksraad serta peristiwa Afdeling B, yang dua-duanya tidak terlalu didalami di film ini. Ada juga kengototan Agoes Salim-Abdoel Moeis dan debat-debat sengit tentang disiplin partai untuk menyingkirkan kelompok Komunis Semaoen dari Sarekat Islam.
review 3 Nafas Likas
Dua tahun setelah ia mengangkat kisah hidup KH Hasyim Ashari, Rako Prijanto mengalihkan pandangannya ke Sumatera Utara. Tepatnya di Tanah Karo. Di sana, ada perempuan bernama Likas Tarigan, istri Letjen Djamin Gintings. Dibanding KH Hasyim Asyari, nama Letjen Djamin Gintings mungkin belum begitu dikenal luas masyarakat Indonesia. Bagaimana membikin sebuah film tentang isteri seorang pahlawan nasional yang tak begitu luas dikenal, tanpa tokoh utamanya menjadi bayang-bayang sang suami? Inilah tantangan yang semestinya dijawab oleh Rako Prijanto.
Film 3 Nafas Likas dibuka dengan Hilda (Marissa Anita) berkendara dalam sebuah jip yang menyusuri sebuah perkebunan. Hilda pergi ke perkebunan itu untuk menemui Likas Tarigan (Tutie Kirana) dalam rangka penulisan buku biografi tentang Likas. Sebagai catatan, buku Perempuan Tegar dari Sibolangit karya Hilda Unu-Senduk adalah basis film ini.
Film ini lantas mengajak kita mengikuti perjalanan Likas (sebagaimana dituturkannya sendiri) bersama ketiga “nafas”-nya: ibu (Jajang C Noer), kakak Njoreh Tarigan (Ernest Samudra), dan suaminya Djamin Gintings (Vino G Bastian) dalam tiga potret kehidupannya: kehidupan masa kecilnya di Sibolangit, kehidupannya setelah lulus sekolah guru menjadi istri seorang pejuang, dan kehidupan masa tuanya menjadi isteri pejabat pascaproklamasi kemerdekaan sampai sekarang.
Kita melihat bagaimana Likas menyikapi kodratnya sebagai perempuan, sebagai seorang istri/ibu, dan juga sebagai seorang pejuang—jika definisi pejuang boleh diperlebar. Sedari kecil, Likas berani menentang patriarki. Ia tak ingin mengikuti kodrat perempuan yang di zamannya "diperuntukkan" untuk membantu suami mengurus keluarga, ternak, dan ladang bahkan hingga larut malam ketika para suami bersenang-senang minum tuak. Dengan dukungan ayah (Arswendi Nasution) dan kakaknya, ia ingin bisa mencari uang sendiri dengan menjadi guru, meskipun ibunya menentangnya.
Keinginannya mengangkat martabat perempuan bahkan masih terbawa sampai ia lulus kelak dari sekolah guru, saat ia berpidato dengan berapi-api di pertemuan pemuda Karo. Dengan lantang ia menyuarakan agar perempuan berani menuntut hak-haknya. Pertemuan pun geger, namun ia tak gentar. Dalam pelarian, ia pun pernah memimpin sekelompok wanita dan anak-anak termasuk ibu mertuanya, untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Satu adegan di mana Likas memeluk seorang wanita yang bayinya meninggal karena kedinginan dalam pelarian adalah salah satu momen yang paling kuat dan emosional di film ini. Pengayoman seorang pemimpin dan kelembutan seorang ibu melebur dalam diri Likas pada adegan tersebut.
Melodrama
Namun di paruh kedua film, sayangnya, tokoh Likas seakan hanya menjadi aksesoris sang suami, Djamin. Narasi Likas sebagai wanita yang tahan banting dan independen menjadi pudar oleh “domestikasi” dirinya. Ia direduksi menjadi “hanya” istri seorang pejabat, pengurus suami sepulang kerja dan anak-anaknya –persis yang pernah diutarakan ibunya dulu saat menentang dirinya masuk sekolah guru. Film ini seakan-akan hendak mengawinkan kisah independensi wanita seperti Tjoet Nja' Dhien-nya Eros Djarot, dengan romantisasi istri-sebagai-penyokong-suami a la Habibie & Ainun.
Sayangnya, seperti tren film biopik Indonesia belakangan yang melibatkan sosok wanita (Hijrah Cinta, Habibie & Ainun), 3 Nafas Likas ikutan terjebak dalam gaya melodrama domestik. Yang lebih disesalkan, tak seperti Habibie & Ainun atau Hijrah Cinta di mana tokoh utamanya adalah pria, 3 Nafas Likas sedari awal hendak menghadirkan wanita sebagai pusat film ini. Apa lacur, eksistensi tokoh Likas malah bergantung dengan eksistensi si laki-laki. Ia diceraikan dari pencapaian di luar peran domestiknya.
Mirip film-film Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II tahun 1940-1950-an (misalnya film-film Douglas Sirk), romantic love dan domestic/familial love menjadi sesuatu yang dirayakan pada film-film melodrama domestik. Bila film sejarah (seringkali berlatarbelakang masa perang) selalu menempatkan figur protagonis laki-laki sebagai manusia yang sedang menjalankan petualangan atau kepahlawanannya, maka film-film seperti ini menempatkan wanita sebagai tokoh utama yang berada dalam keadaan ditinggalkan. Kerapuhan wanita menjadi pusat emosional untuk membikin penonton terharu, dan sebisa mungkin keluar dari bioskop dengan mata sembab.
Selalu ada komponen ekses dan ketidakcukupan dalam struktur penceritaan wanita dalam film melodrama. Di satu sisi, wanita menjadi independen dan otonom seperti laki-laki, yang akhirnya membawa konflik karena ia harus melawan keluarganya demi pekerjaan. Di ujung spektrum yang lain, sang wanita memeluk konsep konvensional dari “wanita feminin”sampai pada taraf—meminjam kata-kata Lesley Johnson dan Justine Lloyd, dua profesor penulis buku tentang feminisme dan ibu rumah tangga—living her life through others, dalam hal ini adalah lewat kehidupan sang kekasih/suami atau keluarganya.
Ketakutan Likas berpisah dengan sang suami yang digambarkan berulang-ulang mulai dari suaminya saat masih menjadi pemimpin gerilyawan, sampai saat suaminya sudah menjadi pejabat tinggi mengkonfirmasi sentimen seperti ini. Seperti Kartini pada bagian akhir hidupnya, semangat kepemimpinan, progresivisme, dan kesetaraan di awal-awal kehidupan Likas mulai mengendur pada bagian kedua film ini.
Hal ini bukannya tak bisa diakali. Ada perjalanan usaha dan karir Likas yang tak difilmkan. Masih belum jelas juga mengapa Rako Prijanto lebih memilih utnuk memfilmkan adegan di mana Likas dilatih etiket a la sekolah kepribadian oleh Ny. Oey (Olga Lydia), daripada misalnya kisah hidup Likas ketika ia menjadi pemilik supplier ayam potong di Bintaro (seperti yang saya baca dari kesaksian beliau di laman Gereja Batak Karo Protestan), atau saat ia menjabat sebagai anggota MPR. Bukankah lebih menarik melihat bagaimana Likas bisa mendirikan PT. Amal Tani, sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas di Sumatera Utara, daripada menyaksikan ia kebingungan menghadapi gegar budaya karena ia dan suaminya mendadak menjadi borjuis kecil?
Ada juga dimensi dari seorang Likas sebagai seorang organisator yang begitu teliti yang alpa dieksplorasi oleh Rako (kecuali dalam satu adegan di awal film dan satu lagi di kedutaan besar RI di Kanada. Itu pun hanya disebutkan). Plot di paruh kedua seakan-akan dibuat untuk mengakomodasi perjalanan karir Letjen Gintings yang menanjak cepat (atau justru mengakomodasi tampilnya Vino G Bastian?). Kita dibuat menonton sempalan-sempalan tentang kehidupan Likas yang tak dikembangkan secara dalam, bak nafas yang tersengal-sengal.
Karena itu (sayangnya) film ini pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah film melodrama dan bukannya film historis tentang sejarah bangsa atau seorang pahlawan perang, maka sejarah bangsa Indonesia hanya mampir sebagai backdrop. Tak ada tautan atau kontekstualisasi yang menunjukkan signifikansi antara sejarah bangsa ini dengan kehidupan Likas (selain perang membuat hidupnya susah), maupun antara dirinya dengan sejarah bangsa ini. Sejarah yang tunduk pada subjektivitas membuat film ini mengalami dislokasi, ia terasing dari latar belakangnya sendiri, dan akhirnya gagal membuat commentary mengenai sejarah bangsa Indonesia.
Bahkan Djiman Gintings, sebuah representasi karakter bangsa Indonesia pra- dan awal-awal kemerdekaan yang masih kental dengan semangat nasionalisme dan militerisme pun tak berkomentar apa-apa mengenai rezim-rezim tempat ia mengabdi, meskipun Orde Lama dan Orde Baru adalah antitesis. Komentarnya hanyalah sebuah inconvenience: bahwa ia adalah orang militer lapangan, yang tak cocok menjadi pejabat kantoran seperti duta besar.
Memang, Rako Prijanto menunjukkan bahwa tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan khazanah bagi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa ini yang belum lengkap. Masih ada Likas-Likas lain di luar sana, masing-masing dengan kisah-kisah kecilnya tentang sejarah—entah sebagai antek rezim, entah sebagai korban dari rezim—yang menunggu agar nafasnya terhembus di permukaan. Hanya saja semoga selanjutnya sejarah tak sekedar menjadi backdrop sebuah drama keluarga.
Rabu, 25 November 2015
Review Merry Riana
Bagi yang sudah mengenal sosok Merry Riana, siapa dia dan apa yang dilakukan sampai bisa jadi seterkenal sekarang, berkat membaca buku yang katanya begitu menginspirasi banyak orang Indonesia ini, keterbatasan film dalam mengeksplor karakter utama mungkin tak akan terlalu mengganggu. Tapi buat saya yang tidak pernah menyentuh buku tentang Merry Riana, hanya punya sedikit info tentang perempuan yang memperoleh satu juta dolarnya di usia 26 tahun tersebut, film ini jelas tak memberikan saya cukup motivasi untuk terhubung dengan apa yang sedang saya tonton. Saya tahu “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” ini merupakan adaptasi bebas dari bukunya, tidak terikat dengan embel-embelbased on cerita sebenarnya melainkan terinspirasi dari kisah tersebut. Tapi kata “bebas” bukan berarti seenaknya meminggirkan apa yang diperlukan film ini sejak awal, yaitu memberikan Merry Riana asupan background karakter yang layak. Mengambil jalan pintas karena terburu-buru untuk melompat ke bagian romansa dan tetek-bengek konflik cinta segitiga (untuk kesekian kali), film ini lupa pada kelompok penonton yang datang ke bioskop karena tujuannya untuk menonton film, bukan menghadiri acara motivasi-motivasian. Lagipula untuk film yang tujuannya agar penonton membawa pulang “kisah yang inspiratif”, kok rasa-rasanya sepanjang film saya tak melihat sesuatu yang terbilang “menginspirasi”.
“Entah apa yang salah, apa yang jadi masalah… aku tak tahu”, lirik dari lagu yang berjudul “Aku dan Masalah” dan dinyanyikan oleh Sarah Saputri, yang terdengar menemani salah-satu adegan “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” tersebut, seperti mewakili isi pikiran saya selesai menonton film yang disutradarai Hestu Saputra (Cinta Tapi Beda, Pengejar Angin) ini. Apa yang salah? Setting tahunnya? Hmmm, banyak yang mengira “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” berlatar 1998, saya tak menyalahkan orang-orang yang menafsirkan seperti itu, karena saya pun punya pikiran yang sama, karena dipertontonkan gambar kerusuhan di awal film, yang langsung mengarahkan pikiran saya ke peristiwa kerusuhan 13 Mei-15 Mei 1998 tersebut. Lagipula aslinya Merry Riana memang hijrah ke Singapura pada tahun dimana Jakarta dan kota-kota di Indonesia sedang dilanda kerusuhan besar. Jika film ini ber-setting 1998, kenapa Singapura sudah punya Marina Bay Sands yang sekarang jadi salah-satulandmark terkenal disana, bukannya baru rampung dan dibuka sekitar tahun 2010. Belum lagi gadgetyang bertebaran tak sesuai tahun, jika diteliti lagi gaya pakaian yang dikenakan pun sangat kekinian. Memang tak ada penjelasan tahun sampai akhirnya ada adegan yang menunjuk bahwa film ini ternyata berlatar tahun 2012—bisa dilihat di adegan ketika Merry Riana yang diperankan oleh Chelsea Islan sedang searching di google. Saya kemudian dapat memaklumi, karena sekali lagi ini adaptasi bebas, si penulis serta pembuat film bisa terserah mereka memindahkan setting ke tahun 2012, termasuk mengada-ada soal kerusuhan yang kembali terjadi di Jakarta.
Dipikir-pikir lagi memang akan menyusahkan jika latar tahun film ini setia pada kisah nyatanya, menyulap Singapura ke tahun 1998, ribet. Makanya ketimbang susah-susah, “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” pakai mesin waktu dan lompat ke 2012, jaman dimana sudah ada smartphone canggih buat main saham tinggal klik nantinya. Move on, lalu apa yang menjadi masalah? Karakter utama alias si Merry Riana tidak diberikan porsi perkenalan yang layak, film ini bisa dibilang menyodorkan Merry Riana yang sudah jadi, tanpa menyediakan waktu bagi saya, penonton yang tak mengenal Merry melihat terbentuknya seorang Merry, behind the scene serta proses bagaimana pada akhirnya Merry bisa jadi seperti yang kita lihat di layar. Apakah dia pintar di sekolah dulu? Makan apa Merry Riana sampai bisa punya energi yang tak pernah ada habisnya? Informasi seperti itu tak dapat ditemukan di filmnya, alih-alih film melompat siap menubrukkan karakter utama dengan konflik berlapis. Mungkin durasi filmnya tak cukup untuk menguatkan pondasi karakternya, detil lebih lanjut bisa cari sendiri diinternet, terlalu banyak yang harus diceritakan dan (mungkin) keputusan bijak untuk skip bagian yang bertele-tele tentang background Merry. Jadi film punya lebih banyak ruang untuk bercinta-cintaan dan menjejali saya dengan ekspresi mengerikan Chelsea Islan.
Siapa sangka Chelsea Islan yang begitu mempesona di “Street Society” kemudian berubah menakutkan ketika menjelma menjadi Merry Riana. Kalau tujuannya itu untuk menekankan kegigihan yang melekat pada diri seorang Merry Riana, saya rasa tak perlu terlalu berlebihan, saya malah melihat Chelsea seperti orang yang kebanyakan minum red bull, mabuk minuman berenergi. Makanya dalam kondisi apapun, energi menggebu-gebu Merry seperti tak ada habis-habisnya, mungkin sebetulnya di film ini Merry adalah robot, bukankah ini adaptasi bebas, tidak ada salahnya jika sekalian membuat Merry ditenagai baterai energizer, karena disini Merry memang mirip kelinci di iklan energizer yang tak berhenti memukul drum. Di film Chelsea tak ada capeknya memperlihatkan semangat menggebu-gebunya, yang kadang tak pada tempatnya, sekali lagi justru mengerikan. Serius bukannya simpatik dan memberi kesan inspiratif, saya justru ketakutan melihat aktingnya yang sangat berlebihan. Well, tak semua yang diperlihatkan karakter Chelsea di “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar” meninggalkan kesan buruk, saya suka ketika karakternya diperlihatkan manusiawi, setidaknya Merry masih dipertontonkan bisa khilaf dan melakukan kesalahan. Untungnya, film ini masih punya Kimberly Ryder dan Dion Wiyoko yang diluar dugaan lebih terlihat natural, serta tak lupa hadirnya Ferry Salim dan Cyntia Lamusu sebagai mama dan papa Merry, mereka mampir sebentar memberi sedikit kehangatan ke dalam film.
Review film ANgker
Pertanyaan
paling mendasar “apakah filmnya seram?” kemudian terlintas sesaat
setelah credit
titlemulai
menggulung layar bioskop. Sebelum orang lain bertanya pendapat saya
tentang film horor yang baru saja saya tonton, saya memang suka iseng
bertanya pada diri sendiri, “apakah filmnya seram?”.Well, jika
pertanyaan tersebut tertuju kepada saya, jawabannya sudah pasti
“Angker” itu seram. Untuk ukuran film horor lokal, “Angker”
seperti sebuah pelepas rindu, saat saya kangen ingin menonton film
horor Indonesia yang bisa menakut-nakuti saya di bioskop. Namun
kata seram itu relatif, balik lagi pada masing-masing penontonnya,
untuk saya yang memang penakut, “Angker” jelas sudah sukses
membuat mulut ini jadi kotor, penuh kata sumpah-serapah (dalam artian
yang positif) efek instant dari
rasa girang karena sudah ditakut-takuti. Untuk orang yang ke bioskop
untuk cari “takut”, tentu saja saya senang ketika menemukan rasa
takut itu di “Angker”. Jadi seram atau tidaknya sebuah film
horor, selalu kembali ke individunya, buat saya film ini seram tapi
belum tentu orang lain, bisa saja malah membosankan.
Sesuai
judulnya yang se-simple “Angker”
bukan “Hantu Penunggu Odong-Odong” atau judul bodoh semacam
“Setan Narsis Doyan Selfie”, konsep yang dibagikan oleh Muhammad
Yusuf lewat film horornya juga sesederhana judulnya. Premis yang
diusung pun sederhana, Ratna (Lia Waode) dan keluarganya pindah rumah
ke daerah Bangil Jawa Timur, kemudian mereka dihantui sosok nenek
berwajah pucat. Yah, hantu nenek-nenek yang belakangan diketahui
bernama Mbah Tun tersebut tampaknya tidak senang dengan kehadiran
penghuni baru di rumahnya. Untuk segi penceritaan, “Angker”
memang bakal terlihat begitu lemah, termasuk tak banyak yang
diceritakan mengenai keluarga Ratna, hanya sepotong-potong yang kita
ketahui tentang keluarga baru penghuni rumah yang katanya angker
tersebut. Banyak detil yang tampaknya dikurangi, karena “Angker”
harus berbagi dengan bagian yang mengupas horor, toh sekali lagi saya
sedang menonton film horor bukan drama. Ketika saya bilang lemah
bukan berarti cerita “Angker” saya bilang ngasal,
ceritanya sudah cukup menopang muatan horornya, terlebih film ini
penuh elemen lokal yang membuat “Angker” jadi Indonesia banget.
Jadi saya bisa kesampingkan kekurangan film ini dalam segi bercerita,
karena tujuan film ini bukan untuk menyajikan dongeng sebelum tidur,
tapi menjejalkan mimpi, yah tentu saja mimpi buruk dengan rasa lokal
yang sangat kental.
Saya
menyukai “Angker” bukan saja karena film ini sudah mampu
mengantarkan perasaan yang saya inginkan ketika menonton sebuah film
horor, tapi juga ketika rasa takut dan perasaan mencekam itu tercipta
tidak serba instant tapi
melalui proses yang dibangun sejak awal film. Proses itulah yang
membuat saya tak saja senang tapi juga puas saat “Angker”
berhasil menakuti, karena saya menikmati bagaimana film ini membangun
rasa takut itu perlahan-lahan. Mulai dari rumah sampai nantinya kita
dipertemukan dengan sosok Mbah Tun. Muhammad Yusuf tahu
men-treatment rumah
tidak saja sebagai sebuah setting belaka,
rumah yang ditempati Ratna-lah yang jadi pondasi horor di film ini.
“Ini film rumah berhantu, mari kita bikin penonton takut sama
rumahnya, dulu”, mungkin itulah yang ada di benak Muhammad Yusuf,
ingin penonton juga ikut merasakan apa yang Ratna rasakan, ikut tidak
nyaman dengan penampakan rumah. Maka sebelum film ini memperkenalkan
karakter manusianya, Yusuf memilih untuk menyeret saya dan penonton
lain untuk mengenal rumah dan tiap sudutnya. Membiarkan penonton
untuk menumpuk rasa penasaran dan ketakutannya, cara Yusuf terbukti
bekerja dengan baik, rasa cekam dan atmosfir tidak mengenakan mulai
mengerubungi, padahal kita belum diperlihatkan penampakan apa-apa.
Rumah di “Angker” jadi punya peranan penting dalam membangun
keseluruhan horor di film ini.
Review Film Nay
Saya
tidak menyangkal kemiripan antara Nay dengan Locke (Steven
Knight, 2013) yang dilakonkan dengan sangat cemerlang oleh Tom Hardy
tersebut. Tapi akan tidak adil rasanya jika kata-kata menyontek itu
hanya bersumber pada sebuah trailer berdurasi
2 menit, atau lebih dungunya lagi kalau ikut-ikut menuduh
bilang plagiat,
padahal belum nonton kedua filmnya. Saya tak perlu heran, toh poster
film Indonesia yang ada gambar pemainnya ngadep sama
persis dengan posterHollywood,
langsung begitu gampangnya diteriaki nyontek. Djenar
Maesa Ayu itu penulis, dia tahunyontek itu
haram. Lagipula yang disebut orisinil malah belum tentu se-orisinil
itu. Steven Knight mungkin juga “nyontek” dan memperoleh idenya
dari film lain yang sedang dia tonton, siapa tahu kan. Ya, terlepas
dari mirip, termasuk hadirnya monolog dan setting yang
memanfaatkan mobil, Djenar setidaknya sanggup memodifikasi Nay jadi
suguhan yang berbeda. Ada rasa yang jelas tak sama ketika saya ikut
menumpang duduk di mobil BMW X5-nya Ivan Locke dengan Mini Cooper
berwarna kuning yang disetiri oleh Nay.
Saya
orang yang tak pandai cari-cari kesalahan dalam sebuah film, apalagi
ketika Nay sanggup
membuai dan sibuk mengajak penontonnya berkontemplasi selama 80 menit
durasinya, selama kita berada di kursi belakang, sambil mengamati
luar jendela mobil. Ada pengemis meminta-minta sedekah untuk makan.
Ada gedung-gedung yang berlomba menyentuh langit. Ada barisan mobil
mengantri panjang. Ada jajanan pinggir jalan yang menggoda. Ada dua
perempuan yang marah. Ada Jakarta yang terasa amat puitis. Kemana
Jakarta yang saya kenal? Jalanan Jakarta yang barbar itu?
Film Nay seperti
menyembunyikan wajah barbarnya, mengganti wajahnya yang dekil
semrawut jadi terkesan mendamaikan. Bahkan jalan Gatot Subroto yang
brutal, yang biasanya penuh pengendara berwajah merah, bermata murka,
siap memaki berteriak “anjing!” apabila
jalurnya terpotong, malam itu di film Naytergambar
berbeda. Walaupun masih diperlihatkan deretan mobil yang berjajar
“parkir” membentuk garis agak tak beraturan, jalanan Jakarta
terkesan lebih ramah, menenangkan, berhias cahaya lampu lalu lintas
dan penerang jalan.
Djenar
tidak hanya mengajak saya jalan-jalan melihat Jakarta, menemani Nay
di balik kemudi—sedangkan saya anteng di kursi belakang
mendengarkan coleteh dan amukannya, tapi juga memberikan saya sebuah
pengalaman yang berharga, dari jalan-jalan yang setiap jengkalnya
penuh makna. Dari tujuan awal ke rumah Ben, untuk mendiskusikan soal
masa depan janin yang sekarang menghuni perut Nay, sampai napak tilas
yang nantinya membuka lembar demi lembar masa
lalu kelam Nay, perjalanan ini benar-benar membuat saya tak lagi
tergoda untuk lihat ke luar jendela, menikmati lembutnya malam
Jakarta, tapi justru tertunduk diam menatap ke dalam batin, merenung.
Orang di kursi belakang itu sekarang bukan lagi hanya pengamat dan
pendengar, tapi nimbrung diajak
berdialog. Walau Nay tak pernah sekalipun menengok ke belakang atau
mengintip spion tengah, walau saya dengan Nay tak pernah bertatap
langsung, film ini serasa menyeret saya ke dalam obrolan. Tanpa
sadar, saya sesekali mencoba menenangkan Nay, “Tenang
dong Nay”, sesama
manusia yang gampang ngamuk,
saya tahu itu percuma
Perjalanan Nay terbingkai
dengan sinematografi nan elok, membuat mata terasa adem, selagi emosi
terguncang. Ipung Rachmat Syaiful di balik kameranya sudah melakukan
pekerjaannya dengan sangat jempolan, tidak hanya
menyulap chaos-nya jalanan
Jakarta jadi terkesan puitis, tetapi juga mampu
menghadirkan mood yang
tepat dalam tiap adegan, yang pada akhirnya membuat saya begitu
nyaman mendampingi monolog Nay. Memilih Sha Ine Febriyanti sebagai
Nay pun adalah langkah yang begitu tepat, olehnya, karakter Nay tak
hanya jadi memiliki nyawa, monolognya pun hidup dan tampil memikat.
Hadirkan performa akting berkelas, Sha Ine Febriyanti menjelma jadi
karakter yang tahu bagaimana mengajak saya ikut berinteraksi, larut
semakin dalam kala konflik dan emosi makin memuncak. Diantara tawa
dan letupan amarah, Sha Ine Febriyanti dan Djenar berkolaborasi
menciptakan karakter yang membuat saya peduli dan ingin makin
mengenalnya di sepanjang perjalanan Nay. Saya
ikut marah, saya ikut sesak, saya ikut senyum, malam itu saya
mendapat teman ngobrol yang asyik bernama Nay, walaupun tak pernah
bertatap langsung. Terima kasih buat jalan-jalannya, Nay, terima
kasih.
Minggu, 15 November 2015
Review film misterius
Bermodalkan dua film horor hantu-hantuannya yang seram, Angker (2014) dan Kemasukan Setan(2013), saya tentu saja amat berharap Muhammad Yusuf bakal melakukan hal yang sama di Misterius, tak hanya kembali menghadirkan konsep horor yang tradisional, tapi juga memberikan pengalaman menakutkan berujung mimpi buruk. Ketika kebanyakan film horor lokal yang tayang di bioskop tampak senang mencekoki penontonnya dengan penampakan instan, dan memanfaatkan efek suara super bising untuk membuat telinga mereka berdarah. Yusuf memilih pakai cara-cara yang sederhana untuk menciptakan rasa takut dan suasana yang mencekam. Film-film horornya memaksimalkan lagi peran atmosfer yang selama ini seperti terlupakan dan hilang dari sinema horor Indonesia. That’s why, horor yang dibuat oleh Yusuf lebih terasa efektif, bukan sekedar memancing penonton untuk menjerit tapi juga menggali ketakutan kita. Memang, tak semua orang bisa ditakuti oleh Misterius, tapi setidaknya formula yang dipakai Yusuf masih ampuh dalam upayanya menghantarkan tontonan horor yang “mengasyikkan”.
Berlatar cerita rumah yang kedatangan arwah penasaran, Misterius nantinya tak akan terlihat muluk-muluk ketika menjabarkan halaman demi halaman skripnya. Plotnya terkesan minim eksplorasi dan tidak banyak informasi soal karakternya, tapi saya tak melihatnya sebagai sesuatu yang mengganggu. Toh, saya datang ke bioskop dengan tujuan yang tidak muluk-muluk pula, hanya ingin ditakut-takuti, saya tak berekspektasi Misterius akan dijejali jalinan penceritaan yang rumit dan diselipi konflik yang (sok) berbobot. Apa yang sudah dilakukan oleh Muhammad Yusuf pada muatan ceritanya yang lagi-lagi menyinggung soal hamil di luar nikah itu, saya pikir sudah lebih dari cukup sebagai penopang sajian horor di Misterius. Yusuf tahu bagaimana membangun plotnya untuk pada akhirnya membuat saya merasa ngeri duluan, membayangkan Wulan yang ditugasi untuk pergi ke dunia gaib dan Ibu Lestari yang harus mengambil susuk di mayat Sumiyati. Belum apa-apa Misterius sudah berhasil memaksa saya untuk menciptakan wujud horor dan sesuatu yang menakutkan di kepala sendiri, disinilah letak kebangsatannya.
Berbeda dengan Angker yang pelit penampakan, frekuensi kemunculan hantu di Misterius nantinya akan dibuat lebih sering, Yusuf bahkan berani menghadirkan sosok arwah gentayangan lebih cepat dari yang saya duga. Untungnya, kehadiran hantu Sumiyati yang terkesan diburu-buru tersebut tak merusak suasana cekam yang sedang coba dibangun oleh Muhammad Yusuf. Intensitas penampakannya pun, walau terasa makin meningkat tapi tetap dijaga untuk minimalis, treatment yang sama di Angkerkembali dipakai untuk Misterius, termasuk hantu-hantunya yang hanya diam berdiri di pojokan dan melakukan gerakan seperlunya. Cara ini sekali lagi terbukti lebih efektif ketimbang jump scare numpang lewat sekelebat dengan tambahan efek suara yang hingar-bingar. Trik sederhana Yusuf tidak saja membuat setiap penampakan dedemit di Misterius terasa meyakinkan, tapi juga ikut membantu menaikkan level mencekam film ini dari menit ke menitnya. Yah, sekalipun penampakannya lebih banyak, Yusuf tak begitu saja melupakan unsur penting yang membuat film horornya tampil menakutkan, yakni atmosfernya.
Durasi boleh sekejap mata tak sampai 90 menit, tapi Misterius berhasil membuat saya stress setengah mati, penyebabnya tentu saja atmosfer cekam yang teramat menyesakkan dan berbagai penampakan ngehenya. Jika biasanya saya gampang mengucapkan bangsat dan kata-kata sumpah serapah lainnya ketika dikagetkan atau ditakuti, kali ini saya memilih untuk banyak-banyak istighfar dan baca-baca doa—saya serius melakukan itu di bioskop saking takutnya. Tapi Misterius tidak saja menarik karena Yusuf mampu mencengkram sekaligus mengendalikan rasa takut penontonnya—bahkan saya bisa dibuat takut oleh kursi tua—penambahan pernak-pernik ritualnya yang cukup detil pun semakin menambahkan daya pikat pada filmnya, seperti yang Yusuf tunjukkan juga di Angker. Muhammad Yusuf di Misteriustidak hanya memberikan saya sebuah pengalaman horor menakutkan, tapi juga memperlihatkan kalau penampakan di awal film dan kemunculan hantu yang jumlahnya setumpuk, tak selamanya membuat film horor jadi buruk, justru jika diperlakukan dengan trik yang benar malah akan menambah keseramannya.
Review film kakak
Walaupun dikategorikan sebagai seorang yang penakut, saya juga tipikal orang yang sebenarnya sulit untuk ditakut-takuti oleh film horor. Menurut saya, pantas atau tidaknya sebuah film horor itu disebut seram bukan terletak pada tampang hantunya yang menakutkan, atau seberapa banyak jump scareyang sukses bikin kaget penontonnya. Selain bagaimana si pembuat film meramu atmosfernya, ada satu hal yang selalu saya lakukan untuk pada akhirnya memutuskan “anjing, film ini serem!!”, yaitu membayangkan saya berada di film tersebut. Ketika menonton Kakak, saya akan memposisikan diri saya pada situasi horor di film tersebut, jadi saat ada adegan yang memperlihatkan Laudya Chintya Bella sedang berhadapan dengan sosok hantu anak perempuan (lebih mirip Sadako cilik), saya kemudian mencoba bayangkan tukar posisi dengan Bella, takut apa nga? Nah, Kakak punya potensi untuk menjadi horor yang seram, tapi tampaknya si pembuat film sendiri tidak percaya diri apakah film horornya bisa menakuti penonton. Alhasil, telinga saya lagi-lagi harus jadi korban efek suara yang terlalu bising, alih-alih membuat suatu adegan jadi kelihatan menakutkan, Kakak justru malah menjengkelkan.
Ivander Tedjasukmana sebetulnya bukan sosok yang baru di sinema horor lokal, sebelumnya dia mendampingi Monty Tiwa membesut Keramat, lalu pernah jadi asisten sutradara untuk film Anak Setandan Pocong 3. Laudya Cynthia Bella juga bukan kali pertama berurusan dengan dedemit, dia sudah lebih berpengalaman berkat perannya di Lentera Merah arahan Hanung Bramantyo, dan Kuntilanak 3yang disutradarai oleh Rizal Mantovani. Sedangkan Surya Saputra, walaupun dia lebih banyak berlakon di film-film ber-genre drama, namanya setidaknya pernah terdaftar di film thriller-nya Joko Anwar Modus Anomali. Terakhir ada Yafi Tesa Zahara si Sadako cilik, tampang imutnya sering muncul di film-film horor macam Wewe, Hantu Pohon Boneka dan 308. Didukung oleh sutradara dan barisan cast-nya yang punya pengalaman berkecimpung di dunia horor dan thriller, apa yang nantinya ditawarkan olehKakak memang harus diakui menjanjikan, tidak hanya dari unsur menakut-nakutinya tetapi juga ketika melihat cerita yang dibawakan, plus bagaimana para karakternya dimainkan oleh para bintangnya.
Tanpa menyodorkan hantu, pembuka Kakak sebenarnya boleh dibilang “seram”, ada adegan seorang anak perempuan yang asmanya kambuh tapi nyawanya tak tertolong, sedangkan orang tuanya malah asyik bertengkar saling menyalahkan. Lalu kita juga dipertontonkan Kirana yang diperankan oleh Bella sedang geletak di tepi jalan, penuh darah, keguguran dan kesakitan. Setelah itu Kakak tidak akan tergesa-gesa menyeret penontonnya masuk ke bagian horor-horornya, separuh pertama film akan diawali dengan drama yang menyorot lika-liku rumah tangga Adi (Surya Saputra) dan Kirana. Kakakpunya banyak waktu untuk mengenalkan kita dengan pasangan suami istri yang baru saja pindah ke rumah baru ini, Ivan ternyata peduli pada karakternya, membiarkan mereka menyatukan chemistry-nya dengan baik, agar penonton lebih bisa diyakinkan dengan status hubungan Bella dan Surya, jika mereka benar-benar seperti layaknya pasangan suami istri yang sedang menanti anak. Pada akhirnyatreatment yang diberikan Ivan kepada karakternya membuahkan hasil menarik: saya lebih peduli pada Adi dan Kirana, tapi sayangnya kepedulian tersebut tidak menular ketika horornya meneror.
Kakak tahu betul bagaimana menciptakan chemistry yang manis antara Bella dan Surya, sekaligus membangun konflik yang menarik ke dalam penceritaan. Bagian yang mengupas drama rumah tangga memang terasa sangat mendominasi, tetapi saya tidak akan terlalu mempermasalahkan itu, selama porsi horornya nantinya punya perlakuan yang adil. Kenyataannya justru sebaliknya, di saat Kakakmulai menebar teror demi terornya, melepas sosok hantu-anak-perempuan-berambut-panjang-bergaun-putih-kotor, daya tarik yang sebelumnya menempel erat justru perlahan-lahan berontak ingin melepaskan diri. Terlepas dari berbagai trik yang kadaluarsa, Kakak tidak hanya memiliki level kepercayaan diri yang rendah saat mencoba menakut-nakuti penontonnya, tapi juga jatuh ke lembah nista dan hina ketika merancang penampakan tanpa mempedulikan keselamatan penontonnya. Sederetjump scare-nya jadi tidak efektif, bukan saja karena kurangnya atmosfer mencekam yang melekat pada setiap adegan yang ditujukan untuk mengejutkan penonton, tapi juga disebabkan pemakaian efek suara yang tak manusiawi. Jujur, jika bukan karena pakaian “minimalis” yang dikenakan oleh Bella, saya mungkin sudah meninggalkan Kakak dan memilih untuk nongkrong di soto bogor Pak Ace.
Jumat, 06 November 2015
3 ( Review Film)
Film 3 langsung memberikan gambaran perubahan yang terjadi di Indonesia selama 20 tahun ke depan. Sebagai respons terhadap berbagai perseteruan antarkubu agama dan pengeboman tempat-tempat umum, perburuan terhadap gerakan radikal agama semakin gencar oleh aparat negara, bahkan banyak dari mereka dieksekusi tanpa proses pengadilan. Di saat hampir bersamaan, timbul gerakan baru untuk menegakkan hak asasi manusia dalam setiap aspek.
Revolusi pun terjadi di Indonesia pada tahun 2036, dengan prinsip menunjung tinggi HAM dan kebebasan. Perdamaian tampaknya mulai tercipta. Senjata tajam dilarang, sehingga aparat hanya mengandalkan peluru karet dan keahlian bela diri, silat menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Media menyorot gerak-gerik aparat agar tidak kecolongan melakukan pelanggaran HAM. Di sisi lain, ruang untuk kegiatan beragama semakin sempit, menjalankan ibadah telah dianggap tabu, bahkan tempat-tempat komunitas agama dianggap sarang terorisme.
Di sinilah tokoh Alif (Cornelio Sunny), Herlam (Abimana Aryasatya), dan Mimbo (Agus Kuncoro) ditempatkan. Mereka adalah tiga sahabat dari perguruan silat yang sama sewaktu remaja, namun revolusi mengubah segalanya. Perguruan silat mereka ditutup, dan ketiganya memilih jalan hidup masing-masing. Alif menjadi aparat detasemen antiteror yang bertekad memberantas kriminalitas dan terorisme apa pun bentuknya. Herlam menjadi seorang jurnalis di sebuah media liberal dengan tetap memegang idealismenya. Sementara Mimbo menjadi seorang ustaz di sebuah pondok pesantren yang terus dalam pengawasan negara.
Tiba-tiba, sebuah bom meledak di sebuah kafe dan menewaskan puluhan orang. Kasus ini mempertemukan Alif, Herlam, dan Mimbo dalam sebuah misteri yang mengancam mereka. Kecurigaan bahwa pengeboman ini dilakukan kelompok radikal agama membuat Alif harus berhadapan dengan Mimbo. Herlam pun terusik untuk mencari kebenaran di balik kasus ini, sekaligus berusaha menjaga agar kedua sahabatnya ini tak saling bertarung. Sedikit demi sedikit misteri tersingkap, mereka bertiga semakin menyadari bahwa kasus ini melibatkan sesuatu yang lebih besar.
Sejauh ini, mungkin baru film 3 yang berani menyajikan cerita dengan latar Indonesia jauh di masa depan, lengkap dengan perubahan keadaannya. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kehadiran film 3 merupakan sebuah penyegaran. Tetapi, yang lebih utama dari sekadar mengaplikasikan latar waktunya, adalah merancang setiap detail dari dunia dan masa yang belum terjadi tersebut agar believable. Film 3 berhasil mengatasi itu.
Film 3 menampilkan Indonesia yang telah menjunjung nilai-nilai liberal setelah revolusi. Ini memang bukan sepenuhnya sebuah fantasi, karena sudah terjadi di dunia sekarang ini, hanya saja mungkin belum di Indonesia. Tetapi, film 3 berhasil memindahkan keadaan itu sehingga masuk akal dalam konteks bangsa Indonesia. Caranya? Lihat ke sejarah.
Di Indonesia, sudah pernah ada momen-momen yang mengubah tatanan kehidupan bangsa ini secara drastis—misalnya peristiwa 1965 dan 1998, sehingga bukan tidak mungkin hal semacam itu bisa terjadi lagi. Jika sekarang orang Indonesia lebih banyak yang mengaku beragama daripada yang tidak, siapa yang menjamin keadaan tidak bisa berbalik di masa depan?
TIDAK HANYA SATU DIMENSI
Tidaklah salah apabila ada yang akan menganggap film ini sebagai ramalan yang amit-amit terjadi, dan membawa pesan bahwa sepatutnya ajaran agama tetap dijalani sekalipun mendapat tekanan. Hal ini diteguhkan dengan ketiga karakter utama yang masih memegang ajaran Islam—walau dalam kadar berbeda-beda. Bahkan, nama panggilan mereka adalah Alif, Lam, dan Mim, berdasarkan tiga huruf pertama dalam beberapa surat di Al-Qur'an yang tidak diketahui maknanya. Namun, bukan cuma itu yang bisa digali di film ini.
Misalnya, jika diperhatikan, film ini sebenarnya tidak mengantagonisasi nilai-nilai liberal, yang biasanya dianggap "musuh" dari nilai-nilai agama konvensional. Liberalisme di sini bukan dianggap sebagai paham yang menerapkan kebebasan, tetapi lebih sebagai sebuah kelompok yang menjadi mayoritas. Ini bisa diartikan sebagai gambaran keadaan yang terus berulang terjadi di kehidupan masyarakat mana pun di dunia, bahwa apa pun pahamnya, ada kecenderungan kelompok mayoritas akan menekan minoritas dan menganggap sikap itu hal yang wajar, baik dalam hal pemikiran maupun keberadaan secara fisik.
Itu pun bukan hal yang tersirat, sebab beberapa kali pandangan ini diungkapkan secara gamblang dalam dialog. Film 3 memang terbilang penuh dengan komentar-komentar verbal tentang agama, politik, sosial, hukum, media, teknologi, teori konspirasi, bahkan cinta, dan untungnya tidak datang dari satu sudut pemikiran saja. Pengujaran-pengujaran gamblang ini memang selalu muncul di film-film garapan Anggy Umbara (Mama Cake, Coboy Junior The Movie, Comic 8). Namun, di film 3 semua itu ditampilkan paling sesuai dengan fungsinya, baik untuk mendeskripsikan karakter, ataupun menggerakkan plotnya.
Jika plot film ini menghadirkan konsep satu masalah dari tiga sudut pandang tokoh-tokohnya, maka prinsip itu juga muncul dalam penuturannya. Itu sebabnya di awal film ada anjuran untuk menonton film ini sampai akhir, supaya penonton tidak salah sangka dengan apa yang ingin disampaikan. Contohnya, film ini menampilkan tokoh-tokoh yang secara gamblang mengucapkan kalimat yang menyudutkan agama, tetapi pada akhirnya film ini bisa juga dipandang pro-agama. Film ini bisa dianggap mengisahkan dystopian future,bisa juga tidak—tergantung ada di pihak yang mana. Film ini bisa dianggap bercerita tentang kebaikan melawan kejahatan, tetapi yang kemudian bergulir adalah pertarungan antara pihak-pihak yang sama-sama merasa berhak menciptakan perdamaian.
Rabu, 04 November 2015
AIR MATA SURGA
Film ini bercerita tentang perjuangan seorang perempuan dalam mempertahankan cintanya sampai akhir hayat. Fikri (Richard Kevin), Dokter Ahli Desain sekaligus lulusan Maha Santri di Jakarta, menikahi Fisha (Dewi Sandra), mahasiswi S-2 dari Yogyakarta yang belum lama dikenalnya. Bagi Fikri, Fisha adalah 'ranting terindah' yang pernah dia temui dalam belantara kehidupan ini, sehingga dia tidak perlu menunggu lama-lama. Padahal Hamzah (Morgan Oey), teman Fisha sejak kecil, sudah lama menaruh hati pada Fisha. Bahkan Bunda (ibu Fisha, diperankan Ayu Dyah Pasha) dan Weni (sahabat Fisha, diperankan Adhitya Putri) juga mendukung kedekatan mereka. Tapi Fisha menganggap Hamzah seperti kakaknya sendiri. Mustahil baginya untuk bisa memiliki perasaan lebih dari itu.
Namun hubungan Fisha dengan Halimah (ibu Fikri, diperankan Roweina Umboh) kurang harmonis. Sudah lama Halimah menjodohkan Fikri dengan anak dari sahabat almarhum suaminya. Takdir berkata lain, malang tak dapat ditolak, Fisha mengalami keguguran sampai dua kali. Fisha sangat sedih dan terpukul. Fikri tidak pernah menyalahkan Fisha sedikit pun atas segala musibah yang terjadi.
Saat Fikri ada bisnis di luar kota, Fisha mengalami kesakitan yang luar biasa di perutnya. Dokter memberikan diagnosa bahwa Fisha terkena kanker rahim stadium akhir. Itulah mengapa dia sangat sulit hamil selama ini. Mengetahui bahwa waktunya tidak banyak lagi dan tidak akan bisa punya anak, Fisha mengambil langkah pengorbanan yang luar biasa sebagai seorang istri. Pengorbanan yang membuktikan bahwa cinta sejati itu hadir dalam hati seorang wanita.
- See more at: http://www.wowkeren.com/film/air_mata_surga/#sthash.oitlekXP.dpuf
FILOSOFI KOPI
Dewi “Dee” Lestari adalah salah satu penulis Indonesia di era sekarang yang tulisannya paling banyak diangkat ke layar lebar. Menyusul Rectoverso, Perahu Kertas, Madre, dan Supernova,sebuah cerita pendeknya yang berjudul Filosofi Kopi diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama. Uniknya, Angga Dwimas Sasongko, sang sutradara, mengikutsertakan para penggemar Dee dalam proses produksi film ini, melalui aplikasi telepon pintar dan kampanye crowdsourcing.
Film Filosofi Kopi adalah tentang dua anak muda pemilik kedai kopi yang juga bernama Filosofi Kopi. Ben (Chicco Jerikho), sang peracik kopi, adalah tipikal orang dengan obsesi. Bagi Ben, kopi adalah sesuatu yang ia tidak akan kompromikan dengan apapun. Jody (Rio Dewanto), yang mengurusi keuangan, berkebalikan drastis dari Ben. Ia logis, penuh kalkulasi untung-rugi, dan lebih mementingkan penghasilan daripada pengalaman meminum kopi yang selalu ditekankan oleh Ben. Perbedaan kepribadian ini yang berulang kali menjadi konflik, seperti perdebatan mengenai perlu tidaknya memasang jaringan wi-fi untuk menarik pelanggan, atau memakai biji kopi berkualitas rendah yang harganya lebih murah. Ben seringkali menganggap Jody gila karena mengorbankan esensi menikmati kopi demi laba, sementara Jody juga kerap menganggap Ben gila karena tidak mau memikirkan keadaan ekonomi mereka yang terjerat hutang besar.
Suatu hari, datanglah seorang pria paruh baya yang berkunjung ke Filosofi Kopi. Ia tertarik kepada Filosofi Kopi setelah membaca sebuah ulasan di koran. Sang pria tadi mempunyai tender proyek dengan seorang pengusaha yang begitu menggilai kopi. Ia menantang Ben dan Jody untuk membuat sebuah racikan house blend dengan rasa seenak mungkin demi memuluskan tender tersebut. Jika Ben dan Jody berhasil, ia menjanjikan mereka uang 100 juta rupiah. Ben menyanggupi, bahkan berani menantang balik sang pria. Jika Ben berhasil membuat kopi paling enak, sang pria harus membayar satu milyar rupiah kepada mereka. Namun jika Ben gagal, ia menyanggupi untuk membayar pria tersebut uang dengan nilai nominal yang sama. Ide ini ditentang habis-habisan oleh Jody, yang mengingatkan Ben tentang hutang-hutang mereka. Akan tetapi Ben yakin bahwa uang semilyar tadi lah yang bisa melunasi hutang dan mengembangkan Filosofi Kopi. Hal ini membuat Jody mengalah dan mengikuti kemauan Ben. Demi memenangkan tantangan tersebut mereka berburu biji kopi yang mahal di pelelangan. Sepanjang waktu, Ben bereksperimen dengan kopi-kopinya menggunakan berbagai macam teknik yang canggih, hingga akhirnya terciptalah racikan mahakarya yang ia beri nama Ben’s Perfecto.
Ben’s Perfecto menjadi laris manis dan semuanya nampak sempurna, sampai datanglah El (Julie Estelle), seorang blogger kuliner sekaligus Q-grader (penilai kualitas kopi) bersertifikat internasional. El tertarik dengan klaim kesempurnaan yang disematkan Ben pada kreasinya. Sesesap kemudian, Ben dan Jody dibuat terhenyak oleh komentar El. Menurut El, Ben’s Perfecto bukanlah kopi terenak yang pernah ia rasakan. Kopi terenak itu justru ada di kawasan Kawasan Ijen, yakni milik Pak Seno (Slamet Rahardjo Djarot) dan istrinya (Jajang C Noer). Kopi itu diberi nama Kopi Tiwus. Sementara Ben tidak terima hasil karyanya dikalahkan kopi dari kampung, Jody percaya bahwa Kopi Tiwus lah yang bisa menyelamatkan mereka. Bersama El, mereka pergi menuju ke Kawah Ijen. Di sana, mereka tak hanya menemukan kopi terenak, tetapi juga menemukan diri mereka sendiri.
Pengembangan Cerita
Yang patut diapresiasi dari film ini adalah usaha si penulis naskah (Jenny Jusuf) untuk mengembangkan kisah dari cerita aslinya yang terbatas. Di dalam cerpennya sendiri, tidak ada jendela untuk melihat ke dalam motivasi karakter Ben dan Jody. Perbedaan dominasi antara logika (dalam Jody) maupun emosi (dalam Ben) adalah perbedaan yang arketipikal, alias mengulang tipe karakter serupa yang sudah-sudah. Di dalam adaptasi filmnya, ada usaha dari Jenny Jusuf untuk memberikan latar belakang dari karakter-karakter ini. Jody menjadi begitu perhitungan karena dia terlilit hutang tinggalan ayahnya. Ben terobsesi dengan kopi karena pengaruh didikan ayahnya mengenai kopi semasa ia kecil. Dua hal ini tidak ada dalam cerpennya. Begitu juga dengan yang menjadi dasar adanya tantangan kepada Ben dan Jody. Dalam cerpen, tantangan tersebut ada karena narsisisme seorang pengusaha yang ingin menikmati secangkir kopi yang sempurna–sebagaimana pengusaha tersebut memandang dirinya sendiri. Dengan mengubahnya menjadi motivasi ekonomis (untuk memuluskan tender), setidaknya ia satu tingkat lebih realistis, karena toh memakai jamuan dan makan/minum enak juga sering dipakai dalam lobi dan dunia bisnis.
Sisi yang lain juga ditambahkan ke dalam film. Terdapat hubungan tidak baik antara ayah dan anak yang terungkap lewat dialog dan kilas balik karakter-karakternya. Meskipun hal ini sesungguhnya arketipikal juga, Filosofi Kopi menceritakan subplot ini dengan efektif: tidak terlalu pendek hingga gagal berdiri, namun juga tidak terlalu panjang hingga menjadi distraksi. Lagi-lagi, ada jendela ke dalam motivasi di balik karakter-karakternya. Pada akhirnya, film ini bukan hanya tentang bagaimana seseorang menerima ketidaksempurnaannya sendiri, melainkan juga tentang menerima ketidaksempurnaan orang lain.
Meskipun demikian, ada beberapa hal masih menimbulkan pertanyaan di dalam film ini. Yang pertama adalah bagaimana kedai kopi selaris dan setenar Filosofi Kopi dapat mengalami kesulitan keuangan, apalagi jika tempatnya tidak perlu menyewa dan pengelolaannya dilakukan dengan cermat. Yang lain adalah bagaimana El yang seorang Q-grader tidak menunjukkan kualitasnya sebagai seorang penilai kopi yang bersertifikat internasional. Alih-alih mengelaborasi penilaiannya terhadap Ben’s Perfecto dan Kopi Tiwus, pendapatnya terbatas pada kata “lumayan” dan “enak”. Mungkin sang penulis skenario sengaja mengorbankan karakter El sehingga filmnya tidak menjadi terlalu teknis, sehingga tidak mengalienasi penonton-penonton yang awam tentang dunia perkopian.
Ada pula secuplik cerita mengenai konflik agraria yang disisipkan lewat keluarga Ben. Keluarga Ben adalah salah satu keluarga petani kopi yang melawan pihak yang hendak mengubah daerah penghasil kopi itu menjadi perkebunan sawit. Ibu Ben meninggal karena konflik tersebut. Ini kemudian membuat ayahnya membenci kopi setengah mati. Sayangnya, bagian ini muncul terlalu singkat untuk dapat menyatakan sikapnya mengenai konflik pertanahan. Kita tidak pernah tahu seperti apa akhir dari sengketa lahan tadi, serta apa yang terjadi kepada petani-petani kopi lainnya. Kita juga tidak tahu mengapa daerah tadi di akhir film menjadi daerah penghasil sayur-sayuran, bukannya perkebunan sawit. Akan lebih membantu, misalnya, jika apa yang terjadi kepada ayah Ben setelah istrinya meninggal dan anaknya kabur dari rumah juga diceritakan dalam film.
Selain dari penulis naskah, rasanya patut juga mengapresiasi Roby Taswin selaku sinematografer. Lewat shot-shot close up-nya tentang kopi, mulai dari merawat tanaman kopi, memanggang biji, menyajikan, hingga menikmatinya, sentralitas kopi dalam film Filosofi Kopi menjadi muncul lewat gambar-gambarnya. Hal ini bisa kita bandingkan dengan Madre, film serupa yang tidak menunjukkan pentingnya sebuah biang roti dalam semesta ceritanya. Dari segi scoring, denting-denting yang sederhana (atau bahkan senyap) dalam adegan-adegan yang emosional bisa dilihat sebagai usaha untuk menghindarkan efek dramatisasi yang berlebihan. Dan ini juga selayaknya diapresiasi.
Filosofi Kopi bukan film yang penuh filosofi. Cerita-cerita tentang obsesi, persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan orang tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan kopi, ia bukan kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi Tiwus. Film ini adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat diminum.
Minggu, 01 November 2015
sebuah LAGU UNTUK TUHAN
Sebuah film yang diangkat dari novel Laris karya Agnes Davonar. Film ini akan mengisahkan percintaan seorang gadis tuna rungu bernama Angel (Eriska Rein) dengan seorang musisi bernama Gilang (Steven William). Film yang menceritakan tentang persahabatan yang terjalin antara seorang penyanyi terkenal dengan seorang gadis tuna rungu yang jujur dan baik hati. Gilang (Stefan William) adalah seorang penyanyi terkenal yang menemui kenyataan bahwa ayahnya terlibat kasus korupsi.
Suatu ketika, saat dia pergi ke sebuah tempat, dia secara tidak sengaja bertemu dengan Angel, seorang gadis tuna rungu. Pertemuannya dengan Angel kemudian berlanjut hingga keduanya menjalin hubungan persahabatan. Meski keduanya berbeda, namun Angel mengajarkan Gilang banyak hal tentang kehidupan. Karena itulah Gilang sangat menyukai Angel.
Namun persahabatan mereka harus dihadapkan oleh takdir, yang mana memaksa mereka untuk berpisah. Sebelum berpisah, Angel menyampaikan permintaan terakhirnya kepada Gilang, yakni membuatkannya sebuah lagu untuk Tuhan yang akan dibawanya ketika dia menghadap sang Pencipta.
Langganan:
Postingan (Atom)